Pada bab ini menjelaskan tentang epistemologi irfani, epistemologi adalah cara mendapatkan sebuah dasar-dasar ilmu pengetahuan. Dasar inilah kemudian yang menjadi diskusi dikalangan para ahli, apakah pondasi keilmuan itu bisa didapatkan dari empiris saja atau ada dasar-dasar yang lain yang bisa menjelaskan suatu ilmu pengetahuan. Epistemologi irfani yang bersumber dari pengalaman langsung atau dikenal dengan prelogical knowledge, epistemologi ini memambg jarang diperdebatkan didalam ilmu-ilmu sosial, karena dia bersinggungan dengan persoalan intuitive sciences(ilmu-ilmu intuisi). Epistemologi irfani dapat dipahami bahwa ilmu-ilmu yang didapatkan lebih banyak pada aspek tidak rasional, di depan dua bentuk epistemologi lainnya( bayani dan burhani). Karena itu, pendekatan terhadap ilmu yang dihasilkannya pun bukanlah sebuah penafsiran terhadap teks atau konteks sosial. Selain itu, epistemologi irfani ingin masuk mencari bagaimana struktur ilmu yang didapatkan dari seseorang melalui pengalaman hidupnya, terutama di dalam berkeyakinan.
Jadi, empat hal yang terkait dengan meta teori yaitu, reduksionisme, essensialisme, reifikasi, teleologi fingsional. Reduksionisme merupakan upaya untuk menyatukan berbagai kompleksitas masyarakat sosial dalam satu bentuk pemahaman yang mempersatukan prinsip-prinsip. Di sini bisa dilihat dari upaya reduksionisme ilmu sosial seperti kepentinagn kapitalisme, patriarkhi, teori rational choice, dan sebagainya. Kemudian, essensialisme adalah sebuah bentuk dari teorisasi yang berkeinginan untuk memprioritaskan yang mengisyaratkan ada sebuah kesatuan atau kesamaan jenis fenomena sosial, seperti hukum atau institusi sosial, jenis kelompok sosial, seperti, kaum pria, kaim wanita, orang kulit putih, orang kulit hitam. Di Aceh dikenal oleh msyarakat dengan istilah tuha peut, tuha lapan, ureung tunong, urrung baroh, yang semuanya menyiratkan adanya kesatuan sosial dan kepentingan bagi setiap istilah tersebut. Adapun reifikasi merupakam kesalahan didalam memberikan atribut pada agen atau pelaku yang sebenarnya bukan pelaku utama. Ini bisa dilihat pada kesalahan metodologi dan teoritasi. Seperti aktor yang bukan aktor adalah kelompok menengah, pemuda, dan sebutan orang inggris, mereka akan menjadi sebuah kesalahan di dalam proses teoritisasi karena mereka bukanlah kelompok pelaku utama di dalam sebuah analisa sosial. Akhirnya, teleologi fungsional adalah kesalahan di dalam analisa yang berupaya menjelaskan sebab-sebab fenomena sosial di dalam bentuk pengaruh mereka, namun pengaruh dianggap sebagai hasil konsekuensi yang dipandang sebagai fungsi. Seperti, nama istilah panglima laot, atau penglima uteun didalam masyarakat adat Aceh. Jadi bahwa didalam ontologi dan epistemologi ilmu sosial (burhani) lebih banyak menyandarkan pada aspek-aspek fenomena sosial.
Kemudian epistemplogi irfani lebih banyak memumpukan pada aspek alam pikiran, baik yang bersumber dari akal maupun dari hati atau batin. Karena, dia lebih banyak bersinggungan dengan persoalan zahir dan batin dari individu. Semakin tinggi posisi atau status sosial atau religi, maka semakin tinghi pula pengalaman atau alam pikiran yang dia dapatkan kemudian memberikan pengaruh pada pola pikirnya.