Segerombolan burung di langit membelah udara. Kepakan sayap membelah pelangi di ujung muara. Hujan baru saja berhenti. Entah mengapa, langit yang mendung tiba-tiba tampak cerah. Tak berlangsung lama, senja menyingsing dengan keanggunan yang merayu.
Oloy, lelaki freelance itu sedari tadi duduk dekat tepi muara. Antara ujung danau dan bibir laut, di sampingnya ada satu warung. Pada sore yang kesekian, ia mengulang rutinitas dengan membaca buku yang sama. Lembar per lembar terlahap. Buku ditutup, saat senja rontok dan suara lantunan qalam ilahi bergema dari salah satu masjid.
Motor bebek digeber dalam laju yang pelan. Maksudnya, semoga ia tiba di depan rumah saat azan berkumandang. Sore itu, ingin sekali ia nikmati setiap momen yang ada. Bagi Oloy, bukan senja syahdu yang membuatnya terpukau, melainkan fase transisi antara hari dan malam. Terik-redup dan remang-gelap. Ada satu hal yang menggelitik, bahwa manusia kerap berada diantara.
Sepanjang jalan, matanya (memang) menatap ke depan. Agar tak ada kecelakaan yang menimpanya dan orang lain. Tetapi, pikirannya selalu mengusik, mengajaknya berdialog perihal "diantara". Batinnya memulai, apakah kau sadar bahwa hidup adalah tentang pilihan. Dan pilihan pada mulanya bukalah satu. Sering dua, tak jarang lebih. Frasa kalimat "hidup tentang pilihan", terlalu akrab terdengar.
Antara baik dan buruk, cantik dan biasa saja, kaya dan miskin. Hingga segala hal yang lebih meluber. Misal jarak, jurang, pun apa yang disebut ketimpangan. Di sisi lain, seakan ada yang berbisik, yang tidak kita pilih hanya Tuhan semata. Ia terperanjat lalu merenung ulang. Tuhan memilihku, atau aku memilih Tuhan. Tuhan punya takdir, tapi takdir juga bisa berubah atas izin-Nya, lewat pilihan manusia itu sendiri.
Ah, agak berat. Terlalu teologis. Tak ringan bila nyerempet filsafat. Yang ia ingat adalah hal-hal yang sudah lazim terbahas. Saat ia lahir, sebenarnya Tuhan lah yang memilihnya. Tapi ketika ia tumbuh, ia percaya satu Tuhan. Di sisi lain, ia juga mendapati Tuhan lain dari agama lain pula. Itu biasa dan tak mengganggunya.
Tapi, ada juga Tuhan baru yang entah sadar atau tidak, telah dikultuskan manusia dengan sendirinya. Rutinitas juga bagian dari Tuhan baru itu, bukankah manusia sering panik kala rutinitas yang intens tiba-tiba bergolak. Sering kali, apa yang dinamakan 'sibuk' membuat manusia gagap bersyukur. Ingat kembali, selain 5 waktu, pasti ada hari-hari yang tidak sama sekali terucap dari mulut, minimal dua kalimat; Alhamdulillah dan *Astagfirullah.
Dalam laju motor bebek tua yang parau, dari agak jauh siluet tranportasi padat di atas jembatan. Oloy juga melihat orang-orang di sekitar danau masih duduk takzim. Sepasang kekasih selingkuh dengan smartphone masing-masing. Beberapa meter kemudian, satu keluarga dengan anak-anaknya, memunggungi senja pada tatap layar kecil di tangannya.
Smartphone juga bagian dari Tuhan baru di jaman milenial. Revolusi 4.0 seakan meng-algoritma-kan candu selalu bersama smartphone. Manusia menjadikan WhatsApp sebagai liqo, Facebook sebagai kiblat, Instagram mimbar dakwah, Twitter sajadah, dan sebagainya. Selalu ada debat pembenaran, amsal kan di smartphone juga ada kitab suci? Batinnya menggugat, bukankah membaca pesan singkat jauh lebih sering ketimbang mengulang asma-Nya?
Oloy tersenyum. Ia menikmati dialog batin dan pikirnya. Saat hendak berbelok, di persimpangan, pemandangan wajah dalam poster begitu banyak. Wajah-wajah memelas, antara berharap dan pancaran optimisme terpancar. Ada yang muncul sebab ada harapan dan diri dalam foto punya kualitas, pun banyak sekali yang dipancarkan photoshop.
Lagi-lagi persoalan politik juga seperti Tuhan baru. Calon legislatif (caleg) ibarat malaikat dan setan, sangking banyaknya. Sedangkan Calon presiden (Capres) laksanakan Tuhan. Ia tahu dan cukup sadar, berpikir seperti itu dan mengucapkannya, salah-salah bisa murtad. Tapi batasan tetap Oloy jarak, jangan sampai lafaz itu terikrar dalam keyakinan. Satu lagi, perkara niat.
Di negerinya, tahun depan (2019) pesta demokrasi akan dilangsungkan. Sayang, gegap gempita kandung bergendang. Demi junjungan masing-masing, jihad dilakukan. Ada yang menolak membawa agama, tapi diikutsertakan jua. Ada yang kekeh membawa, namun tak sesuci yang dicitrakan. Satu hal yang pasti, kedua golongan itu, saling mengakumulasi fanatisme demi kepentingan. Terserah kepentingan ditafsirkan bagaimana.
Gara-gara politik (terutama pilpres) banyak yang luntur agamanya. Keyakinan akan junjungan bertambah, soal akidah turun, jarang yang melek. Ayat-ayat politik ditilawahkan sedemikian rupa. Bagi yang polos nan awam, manggut-manggut mengamini bahwa inilah kebenaran. Ada yang terlewatkan, banyak yang menitipkan harap pada junjungan. Tapi lupa, bahwa sang junjungan harus terlebih dulu mendahulukan "dalang-dalang".
Percakapan imajiner Oloy perihal antara mungkin hanya bermuara pada udara saja. Tetapi satu kebutuhan sudah ia tunaikan, bagaimana membuat pikirannya menemukan orgasme tersendiri. Oloy tiba saat penggalan kalimat azan yang terakhir; LailahaillAllah dilantunkan sang Bilal.
Oloy menunaikan tiga rakaat. Selesai itu, sebelum melipat sajadah Oloy memohon kepada-Nya; Maafkan aku dan kami yang tak sadar telah mendua, bahkan menkesemiankan-Mu dengan apa-apa saja yang kami anggap biasa saja.
Congratulations @lontuanisme! You have completed the following achievement on the Steem blockchain and have been rewarded with new badge(s) :
Click here to view your Board of Honor
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
To support your work, I also upvoted your post!
Cadas...kan bukan cilet2 ni..., tabik n salut..