Sering kita bertanya; kekuatan besar apa yang dimiliki oleh sebuah gampong (desa)? Jawabannya kolektivitas dalam kebenaran kebersamaan. Mengapa itu? Secara antropologi, masyarakat gampong sejak kecil sudah dibiasakan terlibat dalam kegiatan sosial.
Dampak dari berkegiatan sosial, jiwa sosial juga tumbuh. Selain itu, di desa; sifat senasib sepenanggungan begitu terasa. Lain sisi, ketimpangan juga belum begitu kentara. Andai pun ada, relatif 1-3 persen saja. Keadaan itu lah yang kemudian makin mendukung segala hal seperti berbau sosial.
Hampir saban ada acara di gampong, saya sering berefleksi dan bersyukur. Sekalipun, hampir di setiap gampong kerap mengeluarkan kalimat; sudah gak pas lagi gampong kita. Tetapi, saat acara seperti itu; maulid, kenduri blang, pesta perkawinan, dsb. Semua terlibat dan merasakan sukacita.
Kolektivitas dalam kebersamaan adalah modal sekaligus benteng bagi gampong. Tetapi, ia juga diuji sering waktu. Dengan berbagai macam ujian. Dari situ, harusnya semua paham, bahwa seapatis apapun terhadap tatanan sosial yang ada, setidaknya sisakan ruang percaya bahwa semuanya tak buruk-buruk amat.
Sesibuk apapun, sempatkan waktu untuk terlibat dalam kegiatan di masyarakat (gampong). Hal itu menjadi tenun kebersamaan gampong yang akan melestarikan keadaan. Tanpa itu semua, gampong hanyalah tempat asal yang bila beruntung akan berpulang sebagai peristirahatan terakhir.
Jangan pernah remeh terhadap kegiatan yang dilakukan di gampong. Apalagi menjadi provokator dengan kecurigaan ini dan itu. Sifat balas dendam yang sebahagian percaya, seperti kalau tidak ke pesta aku, sebaliknya aku pun tidak ke pesta dia, agaknya kurang baik. Karena akan memperpanjang dan menggerogoti kolektifitas.
Kearifan lokal di gampong itu masih perlu direvitalisasi kembali, banyak yang sudah tergerus modernisasi zaman.
Direvitalisasi perlu. Tapi bentuk juga musti disesuaikan.