Allahu a'lam, entah darimana kesenangan berketrampilan itu hadir dalam diri saya. Terpupuk sendiri, dari keinginan untuk bisa membuat seperti yang orang lain buat. Kata keluarga, konon itu diturunkan dari keluarga ayah saya.
Konon, ayah saya punya seorang adik perempuan yang sangat baik budi, tapi meninggal muda karena suatu penyakit. Hingga saya tak pernah bersua dengannya. Beliau meninggal sebelum saya hadir ke dunia. Mak mengenalkan saya pada beliau lewat hasil kerajinan tangan yang ditinggalkannya. Berupa aneka rupa kreasi rajutan.
Saya senang melihat-lihat dan memperhatikan jalinan benang-benang wol yang membentuk taplak meja itu sedari kecil. Sejauh ingatan saya, saat saya duduk di bangku SD, Sekolah Dasar. Efek sering memperhatikan jalinan benang yang terkait rapi dan indah sedemikian itu, saya jadi terobsesi besar ingin bisa merajut juga.
Mulailah saya lebih jeli memperhatikan sekitar. Barangkali ada yang bisa dan mau mengajari saya. Mak saya punya jarum kait (hook / hakpen) dan beraneka warna benang wol. Tapi sampai bengkok itu jarum, mak tak kunjung bisa merajut.
Ada tetangga baru di samping rumah kami yang ternyata mahir dan sangat hobi merajut. Sayangnya, saya tidak cukup mampu memahami cara merajut yang diajarkannya. Saya masih saja menyimpan obsesi bisa merajut itu.
Suatu ketika, saat liburan, seperti lazimnya liburan saya yang jarang kemana-mana, saya dijemput Yah Nek - adik laki-laki kandung nenek- bermain ke rumahnya di Gampong Doy. Pada kesempatan itulah saya menemukan rajutan alas wadah sirih (baté ranup) yang terbuat dari semacam kuningan berbentuk cambung. Alas itu dirajut dengan benang wol. Seketika saya bertanya kepada Nek Mi, istri Yah Nek, apakah beliau bisa merajut. Alhamdulillah, beliau ternyata bisa dan dengan senang hati akan mengajari saya.
Esoknya, dengan bersepeda, saya datang sendiri penuh semangat belajar merajut pada Nek Mi. Berbekal jarum bengkok dan benang-benang mak, saya diajari merajut oleh Nek Mi. Qadarullaah, dengan Nek Mi, cukup 1 jam saja, saya sudah lancar merajut. Nek Mi bahkan merelakan alas baté ranup-nya saya kreasikan dengan menambah pola di sepanjang tepinya. Alhamdulillah.
Seingat saya, saat itu saya kelas VI SD. Saya mulai banyak bermain dengan benang rajut. Saat itu, saya hanya mengenal benang wol saja. Dengan benang wol itu, saya merajut taplak meja dan ikat rambut.
Semakin lama, saya semakin mengenal banyak jenis benang dan kegunaannya. Saya mulai bermain dengan benang bordir yang digabung 4 sampai 6 sekali jalan untuk merajut renda jilbab. Istilah kerennya edging. Saya juga berekspansi dengan benang nilon untuk merajut tas, sarung handphone, bandana dan lain sebagainya. Pesanan mengalir. Saya mulai mendapat penghasilan dari kesenangan ini.
Nyaris selalu, saya mengenal benang-benang baru beraneka warna dari sebuah toko yang khusus menjual beragam alat ketrampilan tangan di Pasar Aceh. Toko Bali namanya. Milik seorang toke Cina yang sangat ramah. Lalu tsunami datang, dan Toko Bali tak pernah saya temukan lagi.
Pasca tsunami, ada beberapa toko lain yang kembali buka di Pasar Aceh dan menjual aneka barang kebutuhan perajin ketrampilan. Sayangnya, saya tidak menemukan kenyamanan berbelanja di sana. Sama-sama toke Cina, tapi juteknya sukses membuat saya malas luar biasa belanja di sana. Kesenangan merajut pun mulai menemukan kendala.
Tibalah masanya internet menjamur di Aceh. Saya mulai tahu, bahwa ternyata aneka bahan kerajinan dijual secara online. Mulailah saya menjelajah dunia maya untuk kebutuhan merajut. Tentu saja, saya sering terkejut dengan ongkos kirim. Tapi saya juga senang, sebab banyak jenis benang baru yang saya ketahui dan menarik untuk dicoba.
Kesenangan merajut pun kembali menemukan muaranya. Tapi ada masalah lain. Saat itu saya sudah hijrah ke Takengon dan berstatus pegawai. Otomatis sebagian besar waktu tersita untuk urusan kantor. Menjadilah kegiatan merajut sebagai pengisi waktu sisa. Sambilan semata.
Dalam perjalanannya, kesenangan bermain benang saya meningkat. Tidak hanya merajut dengan hook / hakpen, saya juga belajar merajut dengan dua jarum (breien / knitting). Awalnya karena penasaran. Tapi setelah bisa, kok ya malas diseriusi 😅
Saat duduk di MTsN, saya mengenal strimin (kristik / crosstitch). Dalam ekspansi selanjutnya, dari crosstitch ini, saya mengenal banyak cara bermain benang dengan membuat aneka rupa sulaman.
Sumber
Tapi, karena keterbatasan waktu, lagi-lagi hanya merajut dengan hook/hakpen yang tetap paling saya sukai. Kemanapun berjalan, setidaknya selalu ada segulung benang beserta hakpen dan gunting di dalam tas saya. Sangat efektif menghalau bosan dan mengisi kekosongan waktu.
Alhamdulillah, kesenangan bermain benang ini pada akhirnya menular. Adik ipar yang sejak kecil sudah bisa merajut, mulai senang dan serius merajut lagi seusai kuliah S-2. Seperti saya, awalnya pengisi waktu luang. Lalu kami bersepakat menyicil usaha bersama. Hingga terbuatlah satu laman di Facebook & Instagram yang khusus untuk memajang dan menjual hasil rajutan kami. Fa Handicraft.
Fanspage kami di Facebook.
Beberapa order rajutan yang selesai.
Meskipun progressnya lambat, tapi pesanan tetap mengalir dan satu dua kami terima dengan peringatan di awal, bahwa waktu luang kami sangat terbatas sekali. Hehehe, macam ga niat 😅
Ketika rajutan kembali 'in' beberapa tahun ke belakang, adik ipar yang bungsu dan adik-adik perempuan kandung saya juga ikut 'terjangkiti' virus merajut. Ketiganya juga sudah menghasilkan karya.
Alhamdulillah 'ala kulli hal. Bermain benang sungguh menyenangkan. Beberapa kali saya juga pernah diminta mengisi arisan ibu-ibu di kantor-kantor. Termasuk arisan kantor kami sendiri.
Sejatinya, senang berketrampilan semacam bermain benang sangat menguntungkan. Jika diseriusi dengan telaten, sangat berpeluang sebagai sumber penghasilan.