(sumber: vemale.com)
Tiga abad yang lalu. Kuharap kau masih mengerti dengan majas itu. Kau ingat tentang cerita kucingku? Ya, kucing yang sempat menjadi singa lalu menjadi kancil kecil itu. Terserahlah, akupun sudah tidak berapa peduli lagi dengan cerita itu. Aku hanya ingat satu moment, ketika kau tertawa dengan mulut kecilmu, nampak baris gigi putihmu. Malu-malu kau sembunyikan senyummu—yang kelak ada saatnya senyum itu menjadi mitos dan sebab kenapa aku selalu rindu—di balik buku ushul fiqih. Aku suka kelopak matamu meyipit hampir menutup habis bolanya yang bulat hitam sempurna. Kau tampak itu lebih lucu dari aslinya ketika itu.
Sebenarnya masih sedikit sulit aku berterus terang. Entah, jangan tanyakan mengapa?. Jangan kau kira orang Sumatera itu suka berterus terang, walaupun itu benar. Tapi aku rasa dalam membicarakan rasa mereka lebih suka majas. Ya, memang ada apa dengan Sumatera? Apakah aku membawa mitos—yang silap-silap kau dengar—bahwa aku si manusia keras kepala, dan termasuk ketika mencintaimu sekalipun? Terserahlah, apapun anggapanmu. Aku harap suatu ketika, kita mendiskusikan itu sembari aku mencuri sekali kedip matamu yang sejak awal bertemu aku sudah menebak "hal yang akan kurindukan kelak" ujarku, ketika pertama kali kita duduk satu kelompok belajar.
Agar lebih jelas. Engkau perlu tau siapa aku. Kusebut saja dengan sangat singkat. Seorang Melayu yang oleh riset fakta sejarah terbaru, aku harus mertanyakan identitasku kembali "Apakah aku Melayu?". Ya, walaupun kita sudah lama tidak berbicara. Kuharap kau mau membaca Acehnologi, dari pada kau asik stalking statusku. Itupun jika benar begitu. Jika tidak, berarti aku yang harus banyak membaca jurnal di Javanologi, mungkin.
Tidak. Ini bukan masalah budaya lagi. Masalah perbedaan budaya sudah selasai dibahas Hamka dan beberapa roman lawas. Ini hanya masalah kita berdua, tidak ada hubungannya dengan lokus entik ini dan itu. Ya, inilah tololnya aku. Aku masih memahami kosmos untuk memahami wanita, padahal wanita jauh lebih rumit dari teka-teki alam yang masih bisa dipecah oleh metode dan riset.
Dua minggu setelah kejadian yang memilukan itu. Diam-diam aku mencoba membongkar perjalanan kita yang singkat. Saking singkatnya, aku bisa mencatat. Ya, hanya ada; perpustakaan kampus, alun-alun dan warung makan. Perjalan singkat, tidak sampai dua tahun. Namun menyisakan setumpuk luka yang lambat laun teraduk dalam cangkir perjalan kesepianku kini. Mungkin begitu bisa kumajaskan sedikit, untuk tidak mengatakan aku bukan orang Melayu lagi. Atau "Sesendok saja" setelah kameraku ikut berebut merekam siapa lelaki yang akan kau terima untuk mencintaimu. Sedangkan aku hanya bisa membaca dari kabar angin dari perjalananmu yang rumit itu.
Benar, aku sengaja menolak tawaran ketika seorang temanmu mengajakku ikut ke pantai sore itu. Tanpa setaumu, tau-tau aku berangkat ke gunung. Ya, walaupun laut dan gunung tak kalah misterinya, tapi tidak mengapa, pada saat itu gunung masih bisa menjadi tempat di mana rahasia bisa bersembunyi. Aku tidak bisa membayangkan, seandainya aku ikut ke pantai, lalu ikut-ikutan pula mengatakan "aku mencintaimu" bersama-sama lelaki yang akan mengatakan hal yang sama. Bukan saja kau yang kebingungan menjawabnya, namun itu berarti aku telah menjadikan diriku lelaki yang goblok di samping mereka-mereka yang cerdas, para lelaki yang bisa menyakinkanmu, akan kemana dia membawamu dan... Tapi itu tidak perlu lagi sekarang. Toh, orang-orang itu juga pada akhirnya sama tololnya.
Kau suka membaca koran minggu? Ya, kalau kau suka boleh mampir di perempatan kampus APMD. Tanyakan saja, mungkin saja ibu itu masih menyimpan koran, untuk tanggal yang mungkin masih kau catat dengan alasan pada hari itu, kau dan sejarahmu oleh sejarawan dipilih untuk sebuah naskah perjalanan sejarah cinta modern. Coba saja tanyakan, barangkali kau akan menemukan puisi; "senyaring apapun tangismu di bibir pantai yang kutau gunung lebih pandai merahasiakannya".
Setelah dua hari aku mendengar kabar bising itu dari seorang teman dekatku, seorang pencandu espreso Mandailing. Aku semakin setuju dengan prinsip bodohku yang selama ini sering menjadi dongengku untukmu. Apa lain, kalau bukan seperti yang pernah aku ceritakan di pojok pustaka beberapa tahun yang lalu. Kali itu, untuk kesekian kalinya aku dipaksa skeptif, dan itu terhadap cinta, bukan? Terserah. Jelasnya kau harus mendengar puisi ini; "lagi-lagi la-gila-lagi-la-gila-la: aku lagi gila-gila. lagi-lagi aku gila". Kau akan menemukan puisi itu, sekiranya kau masih suka mengikuti beranda Facebookku, atau IG. Ingat, aku tidak pernah punya Twitter. jangan tanyakan mengapa? Itu hanya akan membenarkan tesis, bahwa bahasaku dicemooh sebagai bahasa burung. Walaupun, akhirnya aku lebih suka dengan itu, karena burung selalu menjadi penyambung lidah para penyair dan berlaku sebaliknya.
Atau cerita yang satu ini. Aku rasa kau tidak mendengar bunyi motor di samping rel sewaktu hujan menjemputmu. Aku tidak punya apa-apa ketika itu selain sepeda baru yang nanti akan hilang dalam perjalanannya. Tapi, kenapa pencuri tidak ikut mengambil bagian sejarah segelas es teh jumbo?
Hampir saja aku lupa bahwa sekarang sudah semester akhir. Terlepas dari kerumitan cinta yang embuh itu, aku ingin menyakan apa kabar studimu?, semoga saja tidak sekacau cinta yang embuh itu. Begini harapanku; dari sekian pelajaran tertang positifistik, semoga kita memiliki semacam hukum yang mengikat, dan tidak pernah berkasus di masa depan.
Yang singkat itu perjalanan, hanya sejarah sajalah yang terlalu lama mengenang.
Inilah yang aku takut sejak awal. Setalah menafsir jarak, aku harus mengukur sajak. Sampai hari ini kita tidak pernah berbincang. Tiada ada yang dahulu; seperti dahulu pedal sepeda mengayuh langkah kita sampai roda berputar beberapa kali. Sampai kita sadar, siapa yang sedang di bawah. Dulu setingkat luka kecil, kita akan bertemu dan bertanya "sakit?" sekarang sudah setingkah duka, kita tidak pernah menyapa, hanya ada pernyataan "semakin sakit".
Kalau kau masih punya banyak waktu di sela merampungkan tugas akhirmu. Mungkin, kapan waktu kita bisa berjalan dari gedung fakultas sampai ke gerbang saja. Tidak, aku tidak berharap ada percakapan, biar saja kita liar dalam diam yang terus bertanya-tanya. Sampai nanti kau menjadi kritikus lalu membuat kesimpulan dalam bentuk puisi "ada jalan yang tak lurus, segenap badan tak terurus, itu gara-gara cinta yang menyemai tandus".
"Buku apa yang mau kau baca?" Duduk. Tawa. Kita. Jendela. Waktu dan keriuhan peserta aksi menuntut penurunan harga bahan bakar. Seyum. Pulang. Kaki. Simpang.
Waktu itu aku dan nafasku sedang berdebat, siapa yang paling layak masuk hidung. Menjadi baris sajak. Rak. Buku. Lulus. Tapi sekarang, siapa kita yang mencerca tulus? Suatu hari nanti, sampai namaku berubah berkali-kali, semoga ada lagi calon kekasih yang duduk di perpus.
Saat waktu yang tak bisa kita tebak kapan. Mungkin cucu kita—sekiranya aku masih ingin menikah.
"Buku apa yang mau kau baca?" Kelak anak-anak yang sumuran kita, di waktu yang entah kita masih ada. Mengambil buku. Duduk bersebelahan. "Akankah kita berakhir begini?" tanya perempuan itu kelak pada calon kekasihnya seusai membaca kisah kita.
Diam-diam aku mencatanya, untuk kisah cinta yang akan ditertwakan. Mungkin saat itu nanti akan ada yang peduli. Saat aku sudah tertanam di rimba kebun kakao bersama sisa buku dan satu set kitab yang belum laku terjual.
"Sampai sekarang aku belum memutuskan untuk mencintaimu" begitu aku dengar dari obrolan yang tak sengaja aku berada dalam lingkaran itu. Ternyata, diam-diam ada orang yang menyuruhmu mencintaiku. Untuk apa? Akupun sudah terlanjur papa untuk cinta yang kaya. Dengar saja dendang luka dari pojok-pojok warung kopi. "Ternyata kenangan bisa lebih hitam dari malam" bisik kopi yang jengkel, kenapa aku masih di sini saja.
Sekarang pada tanggal yang sama dan jam yang sama. Kita tidak pernah membuat janji sebelumnya. Aku duduk di bangku dekat jendela. Sendiri.
Benar kata Ayahku, kalau hidup itu seperti perpustakaan. Kau boleh menganggap pengalaman ini yang paling pahit, sama seperti kau menyatakan buku ini yang paling ilmiah dan objektif karena kau belum menemukan buku yang lainnya saja.
Yi Lawe.
Yogyakarta, 2017.
Begini ne kalau kita baca,makin bergairah jadinya.. teruskan bro
Goodddd..!
Tengkyu gure..
Sedap, galak that kubaca long.
Terimakasih bang gure.. :)
Udh up vote. Wahai penyair
Keraaass.... 👍👍
terimakasih bang @senja.jingga . Ditunggu lho sambungan "Kutaraja di balik cadar"-nya bang. Hehe.