Seperti biasa, Adriana tengah memberi salam pada kawan-kawan kecilnya saat matahari yang baru muncul menggoda putik-putik anggrek. Sebuah taman kecil di depan rumah sederhana berhiaskan banyak anggrek cantik dan terawat.
Gadis remaja itu selalu setia menikmati pagi. Hanya pagi yang membuatnya merasa damai. Setelah waktu merambat menuju gerahnya siang, yang menjadi temannya adalah sepi. Menatap jengah pada jalan raya di luar gerbang besi dan hingar-bingar lalu lintas.
Ayah dan ibunya pergi bekerja. Baru pulang ketika shalawat dari masjid terdengar menjelang mahgrib. Lalu, ayah akan kembali berurusan dengan laptopnya. Dan ibu melakukan pekerjaan rumah tangga sambil marah-marah tidak jelas karena apa. Sedangkan adik laki-lakinya, Rafi, berangkat pagi-pagi sekali dari rumah, pulang pada sore hari dan kembali pergi bersama temannya.
Rumah kecil ini terasa kosong bagi Adriana, yang bisa ia lakukan hanyalah kembali menekuri sebuah buku dan membenahi letak kacamatanya seperti hari kemarin. Larut dalam kata-kata yang membuatnya sejenak mengembara ke alam yang berbeda. Melupakan betapa hampanya hidup yang kini ia jalani. Namun ketika sebuah buku telah habis terbaca, maka Adriana tak punya teman lagi. Kembali merasa mati.
Ada satu hal yang membuatnya selalu merasa hidup. Satu hal penting itu berdiri rapuh di taman kecil rumahnya. Mereka cantik. Memiliki baju berwarna-warni seperti pelangi. Selalu menebar aroma penyemangat hari. Merekalah yang membuat Adriana bisa berceloteh panjang lebar menceritakan kisah-kisah yang telah ia baca, tempat-tempat yang ingin ia kunjungi dan hal-hal yang tidak sempat dia lakukan dulu saat semuanya sempurna.
Adriana rajin menyiram mereka dengan air bekas cucian beras ibu semalam, sehingga mereka senantiasa segar. Banyak orang yang menatap kagum ketika lewat di depan rumahnya. Beberapa dari orang-orang itu memuji, bertanya, bahkan meminta salah satu dari kawan kecil Adriana.
—
Satu tahun yang lalu.
Di hari minggu yang cerah, sebuah keluarga tengah duduk bersantai. Mereka ngobrol, bercanda dan tertawa bersama.
“Aku mau main sepeda ya, yah.” Izin Adriana. “Cuma keliling komplek aja kok.”
“Iya, boleh. Tapi, jangan lama-lama.”
“Ajak Tika boleh gak, yah?” tanya Adriana.
“Iya, awas hati-hati.”
Maka, jadilah Adriana membonceng Tika—adik perempuannya—mengelilingi komplek. Ketika melewati sebuah rumah yang memiliki bunga anggrek, Tika meminta berhenti. Tika yang baru berumur 4 tahun itu, terkagum-kagum melihatnya.
“Kak, aku juga pengen punya itu di rumah.” Kata Tika sambil menunjuk anggrek.
“Oke, nanti kita bilang ke ayah.”
“Tika yang nyiramin ya?” pinta Tika, lagi.
“Iyaaaa.” Biar cepat, Adriana hanya mengiyakan apa yang Tika katakan.
Dua perempuan bersaudara itu sedang tertawa bersama, tiba-tiba sepeda yang mereka naikin jatuh karena Adriana kurang konsentrasi, lalu sebuah mobil datang dan menabrak mereka dengan kecepatan tinggi. Menggilas apapun yang ada di jalan.
Kini, Adriana kehilangan kedua fungsi kakinya untuk berjalan dan itulah hari terakhir Adriana melihat Tika tertawa. Kandas sudah impiannya untuk menjadi penari. Maka, Adriana berusaha mewujudkan impian Tika. Dia menanam anggrek, merawatnya dengan baik dan mengajaknya berbincang. Seakan anggrek itu adalah pengganti Tika, pengganti keluarganya yang kini sibuk dengan urusan masing-masing.
Keren, ada lanjutannya kan? :)
Makasih. Nggak, selesai sampai di sini ceritanya :)
Nisedih😢
Huhu