Aku akan menulis tahun ini, di satu tempat tetirah yang memberi penulis ruang dan waktu untuk berkonsentrasi pada tulisan mereka. Lingkungan yang kondusif untuk kreativitas, dengan ruang bebas dan papan tulis, serta uang saku.
Tempat tersebut terletak di sebuah bungalow di tepi danau, menjauhi titik didih politik di kota-kota besar. Suasana pedesaan yang sepi, tanpa hiruk pikuk dan ambisi kota-kota pusat bisnis atau daerah tujuan wisata.
Pekarangan bungalow dihiasi pohon mangga, jambu biji, delima dan rambutan yang menyebarkan aroma buah bahkan ke kamar mandi yang baru disikat, mengalahkan bau karbol wangi.
Di balik pagar belakang, bukit kembar menjulang melampaui pohon-pohon.
Aku adalah salah satu dari tujuh penulis di bungalow tersebut. Dua orang laki-laki dan lima perempuan. Selama lima minggu, kami akan menulis seenak perut kami tanpa diganggu. Kami berada di alam lain, tempat kami tidak memikirkan urusan duniawi. Dari hari pertama kami menulis, semua kebutuhan kami terpenuhi, kecuali rasa bosan.
Teorinya, bosan akan memaksa kami menulis. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain menulis, begitu rencananya. Tapi tetap saja kami menciptakan gangguan kecil untuk membunuh kebosanan.
Setiap kami menempati kamar sendiri-sendiri. Sebelumnya kami tidak saling mengenal: mereka belum pernah mendengar tentangku dan begitu juga sebaliknya.
Kadang-kadang, saat cuaca cerah di malam hari, kami duduk di bawah pepohonan dan mengobrol hal-hal yang bisa membuat orang normal bunuh diri. Kamu sadar jika kamu bisa sangat frustrasi ketika merasa seolah-olah kamu adalah manusia terakhir di planet bumi yang punya otak?
Realitanya, di luar pagar bungalow, penulis bukanlah orang yang paling cerdas atau paling menarik.
Seorang juru masak datang setiap hari, namun pada minggu kedua dia cuti untuk menghadiri pernikahannya sendiri. Dia ramah dan suka humor. Dia memasak makanan yang enak untuk kami. Namun, dia memiliki semacam kegilaan terhadap cabai rawit setan, semacam suara gaib yang menyuruhnya memasukkan buah cilik-cilik sialan itu ke dalam semua masakan, termasuk sayur bening! Membuat kami mencucurkan air mata setiap sarapan, makan siang, dan makan malam. Namun, kami suka mengobrol dengannya karena hanya dia satu-satunya yang mempunyai sudut pandang berbeda tentang literasi. Dia buta huruf.
Bukit kembar di belakang bungalow diselimuti hutan pohon kayu yang gelap, dan aku membayangkan bahwa diriku berkelana hingga ke puncaknya untuk berburu dan menangkap burung hantu putih. Aku membujuk penulis lain untuk ikut berburu denganku tanpa hasil. Jadi aku pergi sendiri. Aku berhasil sampai ke pintu pagar belakang.
Beberapa malam kemudian, aku berjalan-jalan di luar menyusuri jalan yang biasa dilalui juru masak hingga menemukan sebuah warung kecil. Aku mampir untuk minum kopi dan makan nasi dengan lauk mangut lele. Rasanya lumayan, tapi lelenya masih di bawah umur. Mungkin ikan lele yang masih menyusui pada ibunya dan kini si ibu mencari-cari anaknya di setiap sudut petak sawah yang menjadi habitat komunitas lele. Aku merasa jadi bajingan fedofilia ikan, tapi harganya sangat murah.
Di tengah masa penulisan, kami disarankan untuk beristirahat sejenak dan mengunjungi beberapa situs bersejarah di wilayah kami, yang tentu saja kami setujui dengan suara aklamasi. Kami mengunjungi lokasi wisata seperti Sendang Patah Hati, Jurang Putus Asa, Rumah Janda Kolonial dan Danau Cinta Tak Berbalas, yang kesemuanya mempunyai mitos dan legenda unik. Yang terakhir berada di ketinggian 300 meter, diapit bukit kembar.
Kami mendaki, seperti ratusan wisatawan dan peziarah di depan kami, sambil bertanya-tanya bagaimana sebuah danau bisa terbentuk dengan landasan batu gunung. Pemandu wisata menceritakan kisah nenek moyangnya, bagaimana dahulu seorang Belanda pemilik perkebunan terjun ke danau dan belum pernah muncul lagi, kecuali saat kabut menyelimuti puncak bukit. Jandanya ditinggal di rumah kuno yang kami kunjungi sebelumnya. Konon, sang janda masih menunggu di jendela setiap malamnya. Aku rasa aku melihat sekilas bayangannya.
Mungkin aku bisa menulis sebuah novel berdasarkan cerita dari mulut pemandu itu.
Seminggu sekali, kami berdiskusi dengan seorang kritikus sastra membahas kemajuan karya kami. Dia seorang konglomerat yang dipaksa oleh bapaknya—yang mewariskan harta dan perusahaan—untuk meninggalkan fakultas sastra dan mengambil jurusan bisnis.
Dialah pendana kami, dan tampaknya lebih mengerti tentang sastra dan literasi dari pada kami bertujuh.
Kami yang beruntung bisa berada di bungalow ini tahu apa yang kami dapatkan dari kesempatan ini, dan kami tidak akan lupa. Tidak setiap hari para penulis menemukan kesempatan bisa menulis apapun yang mereka mau dan mendapatkan bayaran untuk kerja mereka.
Mudah-mudahan saja tulisanku ini dibaca oleh konglomerat itu, jika ada.
Bandung, 16 Januari 2018