Bulan bersinar terang seperti biasa. Sayang, sinarnya terhalangi awan-awan hitam di langit malam. Pekat, menerjunkan rintik-rintik hujan. Kecil sekali, namun begitu banyaknya membuat Tari mengembangkan payung jingganya tersayang. Akhirnya selangkah kaki ia ayunkan tuk hantar raga lelahnya.
Dalam irama hujan yang menemani kesunyiannya, sebatang bunga mawar ia genggam dengan erat. Masih mengembang segar, persis seperti saat pertama kali ia dapatkan. Kilas balik kenangan menghujani pikirannya. Lebih deras dari turunnya tetes-tetes hujan. Sementara payung melindungi baju keringnya, terbayang jelas kesedihan Rina. Sahabat baiknya itu tersedu-sedan dipelukannya.
Bunga itu dipetik Raka sebagai ungkapan cinta untuk dirinya, Tari si gadis manis di desa Ujung Girang. Ia tak menyangka seorang putra Kyai Ahmad meyimpan rasa padanya. "Siapalah aku?", pikirnya. Tari tak pantas untuk menjadi wanita pendamping Raka. Bagaimana mungkin gadis tak berhijab mendampingi pria berkopiah? Bagaimana mungkin gadis tak taat agama bersading dengan pria ahli masjid? Bagaimana mungkin gadis dengan lisan tak terjaga berpasangan dengan pria santun bertutur kata? Tari tak suka sama sekali dengan lamaran Raka.
Ia segera menolak saat Raka menyatakan cintanya. Yang pertama kali terpikir saat pernyataan cinta itu adalah sahabatnya. Rina pasti akan sedih jika tahu pujaan hatinya melamar orang lain. Apalagi perempuan yang dilamar adalah sahabatnya sendiri. Sahabat yang membantu agar Rina bisa dekat dengan Raka. Sahabat yang membantu agar Rina bisa dekat dengan Ibunda Raka. Sahabat yang membantu agar ia bisa mengenal dan dikenal adik-adik Raka. Tari tak habis pikir, bagaimana Raka justru menyukainya daripada Rina. Bukankah Rina sudah dekat dengan hampir seluruh keluarga Raka? Ya, kecuali ayahnya, kyai Ahmad itu. Kyai yang selalu sibuk berdakwah.
Tak mungkin Raka bermain-main dengan lamaran pada wanita, tapi tak mungkin juga Raka mengabaikan Rina. Rina sudah berubah. Ia berhenti merokok, memakai hijab, berkata sopan, bahkan belajar dan mengkaji Al-Qur'an. Tari harus selesaikan semuanya dengan cepat sebelum Rina tahu bahwa yang dilamar Raka adalah dirinya. Langkah-langkah kecilnya dalam hujan mulai melambat. Rumah Raka sudah terlihat jelas di depan matanya. Pagar hijau menyala mengelilingi rumah dan halamannya. Ada sebuah bangunan kecil di dalam. Kokoh seluas empat meter persegi digunakan anak-anak sekitar untuk belajar mengaji. Orang-orang menyebutnya "langgar". Tari tak mengerti kenapa begitu.
Tari membuka pagar hijau. Suara burung beo yang memberi salam mengagetkannya. "Sialan!" Umpatnya menjawab salam Islami burung itu. Saat baru akan melangkah Raka keluar dari rumah. Wajahnya tak enak dipandang. Berekspresi seperti senang dan khawatir dalam waktu bersamaan. Tari terdiam saat Raka memintanya segera masuk rumah. Tatapannya menajam penuh kebencian. Raka heran dan menanyakan maksud kedatangannya. Seketika itu juga Tari melempar bunga yang diberikan Raka kala itu. "Bodo kamu ya?!" Bentak Tari. Ia luapkan semua kekesalan dan keheranannya. Ia sampaikan betapa bodohnya Raka karena telah melamarnya.
"Kamu itu bego apa gimana? Aku gak habis pikir putra kiyai kayak kamu ngelamar gadis berandalan kayak aku. Apa kamu gak mikir gimana perasaan perempuan-perempuan yang rebutin kamu itu? Mereka semua perempuan solehah, dan pasti kecewa pas tahu kalau kamu ngelamar aku! Apalagi Rina, dia udah deket sama semua keluarga kamu kan? Apa sih yang kurang? Dia udah pinter ngaji, rutin bimbing adik-adik kamu belajar, dia bisa masak, malah tamatan SMA juga! Aku gak akan pernah terima lamaran kamu. Kamu harus sadar kalau beda Rina sama aku itu kayak langit sama bumi!" Tari melangkah pergi sebelum Raka memanggilnya.
"Tunggu Tari!"
"Jangan sebut namaku lagi! Apalagi dihadapan Rina! Dan jangan pernah nyatain cinta lagi sama aku, apalagi ngirim-ngirim bunga kayak gitu!" Ucap Tari sambil mengarahkan telunjuknya pada Raka.
"Aku tau semuanya!" Teriak Raka yang kemudian mendekat. Hujan membasahi baju kokonya. Peci hitam memantulkan tetes-tetes air, melindungi kepalanya. Suasana hening sejenak, sampai suara air bedecak karena langkah kaki Raka dalam hujan. "Aku tahu semuanya, Tari" ucap raka lirih. Ia tatap mata Tari dalam-dalam. Hening sejenak, kemudian "aku tahu apa yang kamu lakukan di pinggiran terminal. Rina memang bimbing adik-adikku belajar, tapi kamu ngajarin anak-anak jalanan sampai mereka bisa baca. Rina memang bisa masak, tapi kamu bawain makanan buat pengemis terminal. Rina memang tamatan SMA dan itu penting, tapi kamu belajar tentang hidup dan menghargai hidup orang lain walau hanya di terminal!" Raka mengungkap rahasia Tari, sementara bajunya semakin basah karena hujan.
"Jangan kamu lajutkan, Raka. Biar aku jalanin hidup dengan caraku sendiri. Biar aku pahami hidup dengan caraku sendiri. Dan kamu harus paham kalau aku ngga cocok buat kamu. Aku berbuat baik bukan karena Qur'an dan Hadist yang kyai sering dakwahin. Aku berbuat baik karena aku peduli, bukan karena agama yang ngga aku pahami" Tari menatap tajam Raka yang mulai mengigil.
"Itulah yang agama ajarkan, Tari. Orang-orang memahami agama, tapi tidak mengamalkannya. Sementara kamu tak paham agama, tapi kamu mengamalkannya dari lubuk hati. Terima lah aku, Tari. Aku akan ajarkan agama padamu. Tidak sulit, karena kamu sudah mengamalkan sebagiannya"
"Kalau gitu, apa agama ngajarin kamu buat nyakitin hati seorang gadis desa?"
Tari pun pergi setelah beberapa saat tak mendapat jawaban Raka. Melangkah cepat hendak menjumpai Rina, sahabat terbaiknya sejak masih kecil. Ia akan ceritakan dengan jujur tentang lamaran Raka hari yang lalu.
Dan...? Akankah ada sequel lanjutannya? Colek aku jika cerita ini berlanjut yaaa. :)
Good story!
Siap teh, saya kabari. Hehe
Ini keren.. Sampai-sampai kaget karena sudah sampai di akhir cerita. Semangat terus menulisnya :)
Thanks, aku nunggu cerpen kamu @garnitnuri
Bagus banget ceritanya Haidar.
Hatur nuhun teh. :)