(Sumber gambar: google.com)
Untunglah dia bisa lebih cepat pulang. Sesampainya di rumah ia bergegas mengganti pakaiannya. Setelah itu membuat kopi, melinting tembakau, lalu duduk di tempat biasanya. Dikelilingi buku-buku.
Mad Banu tersenyum-senyum. Ia mengingat kembali ketika ia melompat ke dalam sungai subuh tadi. Ia teringat masa kecilnya. Lalu ia menangis. Dia teringat semua kejadian di sungai itu. Ia teringat dengan dua abangnya yang mati sia-sia di sungai itu.
Ketika itu Mad Banu masih belum cukup umur untuk ikut campur dalam hal yang membuat kedaua abanya bertengkar, sampai saling tikam, akhirnya keduanya mati. Baru setelah satu keluarga harus diusir dari kampung, Mad Banu mengerti kalau kedua abangnya mati oleh hasutan. Ah, tapi Mad Banu sudah mengikhlaskan hal itu. Lagi pula penghasut itu sudah menerima balasanan yang sepadan.
Baru setelah hampir satu generasi beganti. Di umurnya yang senja, Mad Banu kembali ke kampung halaman. Beberapa orang masih mengenal, tapi anak-anak muda itu mana tau apa-apa. Sekarang umur Mad Banu sudah hampir sembilan puluh tahun, tapi kesehatannya masih terjaga. Berbeda dengan teman-temanya, ada yang masih hidup, tapi hidup di kasur.
Siang itu Mad Banu memutuskan untuk meninggalkan rumahnya. Ia membawa buku-buku, beberapa helai baju, perlengkapan dapur secukupnya, alat bertani seadanya. Ia berangkat ke hutan jati, lalu memutuskan untuk tinggal di gubuk tua itu. Untunglah gubuk tua itu tidak terlalu buruk. Setidaknya, kalau hujan tidaklah sampai runtuh atapnya. Kalau angin, tidaklah sampai patah sendinya.
Dua hari sudah Mad Banu tidak pernah terlihat di mesjid. Pertanyaan semakin besar di kalangan orang. Belum sampai seminggu, semua orang sudah menduga-duga kalau Mad Banu sudah meninggal dan membusuk di rumahnya. Orang-orang kampung memutuskan untuk masuk rumahnya, tapi tidak ditemukan apa-apa, tidak ada pula bau bangkai. Masih tidak ada yang menyangka kalau ia di gubuk di tengah hutan.
Hampir satu bulan. Satu bulan. Mad Banu mulai menjadi pembicaraan yang berbau misterius. Enam bulan. Benar, Mad Banu telah dijadikan semacam hantu baik. Banyak cerita yang beredar. Segala macam penampkan mengatas namakan Mad Banu. Sepuluh tahun. Mad Banu telah menjadi cerita yang sayup-sayup. Lalu cerita tetang Mad Banu yang misterius mulai hilang, kecuali sesekali ibu-ibu menakut-nakuti anaknya yang menangis. “Ngak takut diambil Mad Banu kamu?” Begitulah. Dulu saja ia menjadi contoh ideal, sekarang ia dijadikan semacam hantu.
Merasa sudah cukup lama melalukan semacam pertapaan di gubuk itu. Mad Banupun pulang. Wah, sangat mengejutkan. Cerita yang sudah sayup itupun mulai kembali lagi. Orang mengira Mad Banu adalah manusia yang mati suri. Ada pula beberapa petani jatuh pingsan ketika disapa oleh Mad Banu ketika dalam perjalannya pulang, betapa tidak, semua orang mengira dia sudah meninggal.
Siang itu orang kampung beramai-ramai mengunjungi rumah Mad Banu. Ada yang membawa cerulit, parang, menyan, damar, tungkul kayu, daun jagung kering dan berbagai macam jenis rajah-rajahan. Pokoknya macamlah. Kata orang-orang seperti itu, untuk berjaga-jaga, seandainya itu hanya jelmaan Mad Banu, mereka sudah siap-siap. Ada pula seorang yang menyalin ulang beberapa mantra pengusir hantu, milik buyutnya, katanya untuk berjaga-jaga.
Mad Banu sudah mengira hal itu akan terjadi. Mad Banu bersikap biasa saja, sebagaimana biasa. Dia sudah memeprsiapkan jauh-jauh hari jawaban atas semua pertanyaan orang-orang kampung.
Orang-orang kampung mulai masuk ke rumah Mad Banu. Mad Banu sudah menuggu sambil duduk bersila. Orang-orang itu masih kebingungan. Ada yang mengucek matanya sampai bengkak, ternyata benar-benar Mad Banu. Mulailah, pertatnyaapun mulai disodorkan.
“Jadi selama ini gu.. guu.. guru ke mana?” seseorang bertanya. Orang itu bingung harus memanggil Mad Banu dengan panggilan apa. Dia mengambil inisiatif, bahwa Mad Banu pergi untuk bertapa, lalu sepulangnya tentu akan menjadi tuan guru yang sudah menguasai banyak ilmu, mulai dari ilmu menyabung ayam sampai pada ilmu membaca isi karung garam orang lain, begitulah anggapan orang itu.
“Di sana. Di hutan jati milik bapakku. Di sebuah gubuk” Jawab Mad Banu singkat. Padat. Misterius.
“Mengapa tuan tidak mengabari kaum yang laeh dan banyak khilafnya ini?” tanya seorang lagi.
“benar tuan”
“maafkanlah kami”
“Apa yang tuan guru lihat tentang kampung ini, tuan?”
“Bagaimana panen kami tahun ini, tuan guru?”
“Ternak kami?”
“Anak gadis kami?”
“Gantilah nama anak kami”
“Kucing kami”
“Lembu kami”
Mad Banu benar-benar sudah dikira seorang petapa, sehingga ia disodori berbagaimacam pertanyaan. Siang itu rumah Mad Banu riuh, ramai, seperti halnya sebuah pesta.
“Aiiii... aiii.. Berilah Tuan Guru untuk beribicara” kata seseorang.
Kedaan diam.
Mad Banu menatapi semua orang-orang yang hadir di rumahnya siang itu. “Inilah yang aku inginkan” Kata Mad Banu. Orang-orang masih diam. Bingung. Senyap sunyi.
“Maksudnya apa?” tanya seorang pemuda memecah suasana.
“Aihss. Berkudis mulutmu anak muda. Siapa nama pamanmu, apa tidak pernah diajarinya kau bertutur?” Kata kepala desa menegur pemuda itu. Sungguh tidak baik berbicara begitu.
“Kami kaum yang laeh ini tidaklah sampai pada maksud Tuan Guru. Ludahilah mulut kami yang lancang ini, Tuan Guru. Apa kiranya maksud Tuan Guru?” tanya kepala desa, mewakili orang-orang yang sedang dalam kebingungan itu.
“Aku tersesat dalam rimba kesedihan, sampai tenggelam ke muara rasa sakit. Lalu cinta mengantarkan aku pulang” Ujar Mad Banu. Kata-kata itu membuat orang-orang kampung semakin bingung. Tak ada yang tahu maksudnya. Lagi pula untuk apalah Mad Banu berbicara begitu, bukannya puisi dan semacam sastra-sastraan tidak laku di kampung itu. Duh, Mad Banu, Mad Banu.
“Inilah yang kuinginkan. Sekiranya ajalku sampai” Lanjut Mad Banu. Orang-orang kampung sudah menebak-nebak, umur Mad Banu sudah tidak lama lagi, tapi tidak ada yang berani mengucapkan. Orang-orang kampung itu hanya diam. Mungkin menunggu.
“Aku tidak punya keluarga, kalianlah keluargaku. Aku tidak punya saudara, kalinlah saudaraku. Aku tidak punya ahli waris, kalianlah ahli warisku” Semakin nyatalah. Orang-orang kampung itu berkeringat cemas. Aih, beginikah menunggu kematian, kata hampir seluruh orang kampung, tapi dalam hati saja. Mana ada yang berani melepaskan kata-kata begitu bentuk, kalau tidak berkudislah mulutnya.
Hanya seorang-dua orang pemuda tolollah yang sedikit menghore dalam hatinya, karena tidak ada lagi Mad Banu yang suka menggagalkan aksi kriminil kecil-kecilan mereka, semacam mencuri mangga muda, kelapa muda, tebu, jagung, setandan-dua tandan sawit.
[Bersambung]
Congratulations @yilawe! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of upvotes
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
To support your work, I also upvoted your post!
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP