(Sumber gambar: Google.com)
Kira-kira satu jam sebelum azan subuh, Mad Banu bangkit dari tempat tidurnya, lalu bergegas mandi. Ia percaya mandi sebelum subuhlah yang telah membuat tulangnya kuat. Benar saja, lihatlah orang-orang kampung itu menjadikan Mad Banu sebagai sosok manusia tua yang ideal di sehamparan kampungnya. Setiap guru ngaji pasti akan membuat sosok Mad Banu sebagai contoh yang ideal untuk ditiru oleh bocah-bocah.
“Contohlah Kakek Banu. Mandi sebelum subuh. Tulangnya kuat” Kalimat itu menjadi semacam petuah wajib. Jika sudah begitu, dan murid-murid itupun sudah mengerti kalau kalau itu sebagai kalimat yang menandakan penututup kelas TPQ malam itu.
Tidak siapapun menyangkal. Memang sudah menjadi kebiasaan Mad Banu, sebelum azan dia sudah berangkat ke masjid. Dialah orang yang pertama sampai ke masjid, padahal masjid itu lumayan jauh dari rumahnya. Katanya, hanya dengan begitulah ia bisa mengurusi dua badannya secara bersamaan. Tidak, Mad Banu bukan seorang kembar siam, atau ia hamil, tidak! Bahwa di samping badan jasmani yang tampak, tentu pula ada badan ruhani yang menggerakkan, ujar Mad Banu.
Setelah berbicang-bincang sebentar di teras masjid. Biasalah, perbicangan orang-orang yang sudah sampai umur, tidak jauh-jauhlah dari soalan mati. Awalnya sih tidak jauh-jauh dari amalan-amalan, semacam zikir dan shalat sunnah. Tapi pembicaraan orang-orang di teras masjid itu tidak pernah berhenti di situ, mulai cang panah tentang kain kafan.
Ada seorang kawan Mad Banu, orangnya memang sedikit humor, katanya ia ingin dikafani pake kain sarung saja. Jika sudah begitu, yang lain tentu tidak mau kalah, sampai pada jenis benang, motif, corak, sampai pada jenis ulat-ulatnya sekaligus. Sambil tertawa terkekeh-kekeh, ada yang batuk, maklumlah orang-orang sudah dekat.
“Adakah kematian sebuah tertawaan?” Ujar Mad Banu.
“Percumalah akhir hidup ini kalau hanya untuk sensara, Banu!” Jawab kawan Mad Banu.
Pembicaraan terus berlangsung sampai membahas kedalaman tanah. “Banu, kalau kau mati jangan sampai kuburanmu hanya sedalam kuburan cuak”. Entah dapat kabar dari mana, orang-orang kampung itu percaya bahwa kalau ada cuak mati, maka kuburannya sangat dangkal, bahkan tak habis badannya tertanam. Tentu, tidak ada yang menginginkan kuburan semacam itu.
Lalu pada jenis tanah, bentuk kuburan, acara kematian, di rumah atau di rumah sakit, pokoknya macam-macam paket kematianlah. “Aku rasa, si polan itu kalau mati, cocoklah dikubur seperti mengubur cuak. Lemparkan ke tanah lumpur, lalu beri tanda merah dihidungnya. Lihatlah mukanya, memang sudah mirip cuak.” Kata seorang lagi, yang ahli gunjing.
Setelah merasa cukup, ketika perbincangan mulai mengarah menggunjing, cepat-cepat Mad Banu meminta langkah, berpamitan, lalu pulang.
Mad Banu pulang ke rumahnya sambil berlari-lari kecil, melompat-lompat ringan, mengerakkan persendian dan tidak lupa melatih urat pipinya agar semakin mudah tersenyum, dengan begitu sempurnalah hidup dirasakannya.
Sesampainya di rumah, ia memanaskan air lalu membuat kopi dengan sedikit gula. Rupa-rupanya orang tua ini dihantui penyakit gula. Walaupun belum pasti, menjaga lebih baik dari pada mengobati, begitulah prinsip hidupnya. Setelah membuat secangkir kopi, lalu ia duduk di sebuah kursi kayu jati.
Konon kursi itu dibuat dengan tangannya sendiri, dari pohon jati yang ia tanam ketika umurnya masih lima tahunan. Walaupun polesanya tidak semulus dan serapi buatan ahli kayu, tapi ia cukup bangga dengan hasil tangannya sendiri. Ditambah satu meja kecil dengan kaki yang agak tinggi. Mengahadap ke jendela.
Awal mulanya tempat itu bukanlah ruangan khusus, secamam ruang baca, tidak! Ruang itu hanya terbentuk dari empat lemari besar yang penuh dengan bergabai macam buku, kitab, naskah, gulungan film, dan beberapa benda-benda lawas.
Mad Banu duduk, lalu membuka cupu. Adalah kebiasaanya menghisap satu batang tembakau, menyeruput secangkir kopi, membaca sebuah buku. Sambil memilih gulungan pucuk nipah yang paling besar, lamunanya mulai mengembara, mulai dari bagaimana akhir hari tuanya, sampai pada siapa semua itu ia wariskan. Setelah satu batang tembakau selesai dilintingnya, ia mulai tenggelam dalam bacaan, yang membuat keningnya harus berkerut.
Begitulah kebiasaan Mad Banu menghabiskan hari tuanya. Isteri, dia memang tidak pernah punya isteri. Ia punya kekasih semasa mudanya, tapi sudah meninggal setelah satu hari sebelumnya Mad Banu merencanakan kejutan, semacam cincin tanda ikatanlah.
Lama Mad Banu tenggalam dalam kesedihannya, sampai orang-orang terdekatnya mengira bahwa Mad Banu akan segera menyusul kematian kekasihnya itu. Bayangkan, tenaganya ia kerahkan hanya untuk bersedih, murung, sampai akhirnya ia mengalami demam berat. Dangingnya habis, tulang pipinya menonjol, nafasnya hilang timbul tak beraturan. Semua orang yang melihat tentu mengira umur Mad Banu sudah tidak lama.
Aroma bawang, tembakau, cengkeh menjadi bercampur menjadi satu, menyumbat hidung siapa saja lewat. Tapi, di desa kecil di tengah gunung itu siapa yang suka lewat? Paling masyarakat setempat yang hidungnya sudah kebal dengan semua aroma itu.
Pagi, di sudut ufuk ada matahari mulai membunuh sejuk. Bebek, ayam, dan semacam jenis ternak mulai dilepaskan dari kandangnya. Di saat beberapa petani mulai berangkat ke kebunnya masing-masing. Ya, masyarakat setempat hampir semuanya memiliki tanah sendiri, tidak terlalu lebar, tapi cukuplah untuk penghidupan, sekedar makan minum.
Pagi itu Mad Banu di sela melakukan kebiasaannya sehabis subuh. Ia teringat dengan hutan jati warisan bapaknya. Ia berencana berangkat ke sana. Berbeda dengan biasanya petani, membawa cangkul, parang, sabit, tidak! Mad Banu berangkat dengan tangan kosong. Lama ia berjalan, menyusuri jalan setapak, lalu sungai-sungai kecil, ia pun tiba di hutan jati yang sudah lama ia tinggalkan itu.
Di tengah-tengah barisan pohon jati itu, masih ada sebuah gubuk kecil. Mad Banu beranjak mengahmipiri gubuk itu. Setelah melihat-lihat sekeliling gubuk, ia memutuskan untuk masuk. Masih cukup kuat, ujarnya dalam hati.
Hari itu juga Mad Banu membersihkan gubuk. Ukuran gubuk yang kecil, tidak membuat Mad Banu sampai keletihan, hanya sedikit berkeringatlah. Setelah terlihat cukup bersih, Mad Banu duduk di bawah pohon jati besar di depan gubuk. Entah apa yang sedang ia fikirkan.
Lama ia duduk di sana. Mad Banu menyadari sore telah tiba, bukannya pulang ke rumah, malahan Mad Banu memutuskan untuk menginap semalam di sana. Entahlah, mungkin ini termasuk dalam agenda menikmati hari tua pula.
Sebagaimana kebiasaanya, sebelum subuh ia bergegas pulang lalu mandi untuk pergi ke masjid. Eh, tapi jarak antara hutan jati itu dengan rumahnya cukup memakan waktu, akhirnya Mad Banu memutuskan untuk shalat di tengah perjalanan pulang. Soal air wudhu, syukurlah di sekitaran desa itu masih punya anak-anak sungai. Sekiranya sungai itu kering, tahulah Mad Banu kalau dia bisa bertayamum.
Benar. Ketidak hadiran Mad Banu subuh itu menjadi pembahasan beberapa lelaki hampir tua di teras masjid. Ada yang mengira Mad Banu pergi ke kota, ada yang mengira sakit, ada yang mengira umroh, tapi tidak ada yang mengira Mad Banu pergi ke hutan jati miliknya, yang jauh dari perumahan warga.
Ada satu orang yang nyeletup “tadi aku melihat beliau pergi ke arah kebun, lalu ...” tapi belum selesai tua malang itu berbicara, sudah disanggah oleh temannya. “Halaah. Mana mungkin.” Pokoknya, tidak hadirnya Mad Banu, lumayan mengemparkanlah, setidak-tidaknya di kalangan lelaki separuh tua di teras masjid itulah.
Setelah melaksanakan shalat subuh, Mad Banu berlari-lari kecil, melompat-lompat ringan, lalu melatih senyum, kali ini pada pohon-pohon jati. Atau rumput. “Siapa yang berani senyum pada pohon, kalau tidak siap dikira gila” kata Mad Banu dalam hati.
Cahaya pagi sudah mulai terlihat, tentu para petani belum ada yang bergegas berangkat ke kebun. Apalagi kebun mereka tidak jauh-jauh dari perumahan warga. Mad Banu melihat ke arah anak-anak sungai, lalu ia tertarik pada jernih. “Ah, kapan lagi aku bisa mandi di sungai” Kata Mad Banu. Plung, dia pun melompat ke sungai. Setelah merasa cukup senang setelah berenanag dengan segala macam gaya, diapun keluar dari sungai.
Mad Banu terus berjalan pulang dengan pakaian yang basah. “Ah, kenapa aku tidak membawa pakaian” sesalnya. Ia terus berjalan. Pagipun semakin terang. Para petani sudah bersiap berangkat ke kebun. Fikir Mad Banu, ia perlu lebih cepat sampai ke rumah, sebelum petani itu berpencar. Nanti malah jadi pertanyaan, mengapa dia basah-basah begitu, padahalkan tidak hujan.
Untunglah dia bisa lebih cepat pulang. Sesampainya di rumah ia bergegas menganti pakiannya. Setelah itu membuat kopi, melinting tembakau, lalu duduk di tempat biasanya. Dikelilingi buku-buku.
Mad Banu tersenyum-senyum. Ia mengingat kembali ketika ia melompat ke dalam sungai subuh tadi. Ia teringat masa kecilnya. Lalu ia menangis. Dia teringat semua kejadian di sungai itu. Ia teringat dengan dua abangnya yang mati sia-sia di sungai itu.
[bersambung]
Soal menggerakkan dua badan, memang berat. Seperti mengimbangi jasad dengan ruh. Ada yang berat di antara keduanya
Nyan itulah, Abu.