You can call me Batavia. I was a boy who lived in Indonesia. This was my story.
Source: Pixabay, modified
“Format buku tugas: Satu, ….”
Ini hari pertama Masa Orientasi Sekolah (MOS), mirip OPSPEK di universitas.
Gugusku, Gugus Dua, beserta delapan gugus lainnya sedang meleleh di bawah terik matahari di lapangan dalam sekolah. Tangan kami yang licin karena keringat berusaha menangkap kalimat yang diucapkan seorang kakak kelas yang kecil tapi bersuara keras seperti toa alami. Sebenarnya mencatat apa yang kami dengar tidak masalah, yang jadi masalah adalah kakak kelas itu me-rap semua kata-kata dengan oktaf sebelas. Hanya tiga empat kata yang kutangkap dan kutulis di buku. Yang lain cukup cerdik dengan mengeluarkan ponsel dan merekam suara kakak pemberi tugas.
Setelah pulang, gugusku berkumpul untuk berbagi tugas sekaligus mengambil foto untuk dipasang di belakang sampul depan buku gugus. Dari rekaman salah satu teman gugus, tugas yang harus kami lakukan adalah:
- Membuat buku tugas, format disamakan satu angkatan.
- Membuat tas karung.
- Membeli pita merah putih di bahu.
- Membawa makan siang (ini, sih, enggak usah dibilang).
Jadi, kami semua menumpang di rumah Nusa. Alasannya, rumahnya yang paling dekat dengan sekolah sehingga tidak terlalu menyulitkan. Tugasku membuat tas karung, lebih tepatnya memasukkan tali untuk menutup lubang tas. Setengah jalan memutari lubang tas, peniti yang dipakai untuk menarik tas tersangkut. Usahaku untuk mencari peniti cukup merepotkan karena peniti menusuk-nusuk karung dan tanganku. Beberapa jam kemudian, seluruh tugas gugus selesai kami kerjakan tapi jariku berdenyut-denyut nyeri.
Source: Pixabay
Hari Senin, dua hari kemudian. Entah kesambet apa, jalanan sudah macet pada jam 6. Perjalanan yang biasa menghabiskan waktu 30 menit menjadi hampir 1 jam. Saat aku sampai, semuanya sedang melakukan upacara. Aku beserta orang-orang yang apes yang terlambat harus berdiri di luar barisan sambil ditanyai kakak kelas. Untungnya, dia bukan kakak kelas yang berkotek-kotek waktu hari Sabtu. Setelah bilang kalau kami jangan sampai mengulangi kejadian ini, kami dipersilakan bergabung dengan gugus kami.
Daripada dibilang sebagai makan siang, kegiatan kami lebih mirip game AR dengan tema makan siang yang diberi waktu di setiap levelnya. Saat cuci tangan, kami mendapat 10 hitungan setelah kakak pengawas bertanya pada kami. Setelah pintu dibuka, kami, seluruh murid baru, berhamburan menuju wastafel yang hanya empat biji.
Setelah cuci tangan, kami harus segera berlari ke dalam karena hitungan masih berlanjut sampai kami semua duduk. Kakak pengawas kembali bertanya, kali ini lebih tegas karena ini menyangkut masalah makan. Mungkin mereka juga lapar. Meski waktu yang diberikan cukup banyak, tetap saja aku makan terburu-buru. Tapi, dasar kebiasaan, bukannya menelan makanan, aku malah mengumpulkannya hingga pipiku menggembung dan tak bisa mengunyah. Kakak kelas sampai khawatir aku akan menyembur. Selagi menahan mulutku agar tak ada makanan yang keluar, aku membayangkan apa jadinya kalau ada yang tiba-tiba melawak.
Source: Pixabay
If you like my writing, please upvote and restem this post. I would love if you follow me @batavia.
Other Writing