BIOGRAFI SINGKAT ABU TUMIN
Tgk. H. Muhammad Amin bin Tgk. Mahmudsyah atau lebih akrab disapa dengan sebutan Abu Tumin merupakan salah satu ulama kharismatik Aceh, lahir di desa Kuala Jeumpa, kemukiman Blang Bladeh, kecamata Jeumpa, kabupaten Bireuen (sekarang) pada tanggal 17 Agustus 1932.
Terlahir dengan mewarisi darah ulama dan menjejakkan kaki pertamanya dibumi juga ditanah dayah yang dipimpin oleh kakeknya Tgk. H. Hanafiyah, seolah menjadi sugesti bagi Muhammad Amin Kecil untuk terus bergelut dengan ilmu pendidikan agama. Karenanya semenjak kecil beliau sudah memperlihatkan minat besar dalam belajar agama. Kala itu beliau belajar agama langsung pada orang tuanya Tgk. Mahmudsyah (Tgk Muda) dan kakeknya Tgk. H.Hanafiyah (Tgk. Tua) disamping itu beliau juga belajar pendidikan formal di Vervolkschule.
Setelah beberapa lama belajar di Dayah kakeknya, sampailah Muhammad Amin muda pada kesimpulan untuk melanjutkan studi yang lebih tinggi, akhirnya ia memilih menempuh perjalanan religusnya ke kawasan selatan Nanggroe Aceh Darussalam tepatnya di daerah Labuhan Haji, tempat dimana Al-Mukarram Syaikh H.Muhammad Muda Wali Al-Khalidiy (Abuya Muda Waly) mengasuh sebuah Dayah salafi yang kelak melahirkan ratusan ulama yang tersebar diseluruh Aceh maupun luar Aceh.
Diantara deburan ombak dan hembusan angin pantai Samudera Hindia , disanalah Muhammad Amin muda dan ratusan Santri lainya mendapat transferan ilmu dari Abuya sebelum akhirnya beliau kembali ke Negeri Jeumpa pada tahun 1960 untuk melanjutkan estafet kepemimpinan Dayah warisan kakeknya yang sudah berdiri sejak tahun 1890. Dayah yang berlokasi satu komplek dengan mesjid jami’ kemukiman Blang Bladeh ini pada awalnya belum mempunyai nama, hanya dikenal dengan sebutan “Rangkang”. Baru dimasa kepemimpinan AbuTumin Dayah tersebut beliau beri nama dengan Al-Madinatuddiniyah Babussalam.
Semenjak kepemimpinan beliau, Dayah Al-Madinatuddiniyah Babussalam mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Hal ini terlihat pada acara Haul perayaan 57 tahun berdirinya Dayah tersebut yang diselenggarakan pada tanggal 21 mei 2017 di komplek Dayah Al-Madinatuddiniyah Babussalam Blang Bladeh beberapa waktu yang lalu, dimana puluhan ribu Alumni dari berbagai daerah dan kalangan memadati komplek dayah untuk mengikuti acara dengan penuh khidmat.
Saat ini Dayah tersebut menampung sekitar 1300 santri putra dan 890 santri putri yang di karantinakan pada dua lokasi terpisah. Al-Madinatuddiniyah Babussalam putra berdiri diatas tanah dengan luas satu hektar, terletak di desa Kuala Jeumpa. Sementara Al-Madinatuddiniyah Babussalam putri terletak di desa Blang Bladeh dengan luas area 800m2.
Di sela-sela rutinitas dalam mengasuh dayah, Beliau juga terlibat aktif dalam berbagai forum dan kegiatan. Sebut saja dalam bidang diskusi keagamaan atau muzakarah misalnya, beliau dan ulama-ulama Aceh lainnya selalu berada dipanggung utama sebagai pemateri untuk memecahkan permasalahan yang di hadapi ummat.
Sebagai salah satu ulama sepuh di Aceh, beliau terlihat sangat loyal terhadap mazhab Syafi’i,dimana beliau tetap bersikukuh untuk berpegang dengan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’I sekalipun harus berbeda dengan sebagian ulama lainnya, seolah beliau ingin berpesan kepada kita: “Beginilah seharusnya bermazhab”.
Di organisasi, beliau aktif di Dewan Majelis Syuyukh Majelis permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh, Majelis Syura Insafuddin Provinsi Aceh, Penasehat Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan beliau juga tercatat bersama tujuh ulama lainnya sebagai Anggota Majelis Tuha Peut Lembaga Wali Nanggroe Aceh periode 2016-2021.
Disamping aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan, Abu Tumin juga sangat peduli dalam hal berbangsa dan bernegara. Dalam kesibukannya yang luar biasa, beliau masih menyempatkan diri menganalisa keadaan bangsa dan memberikan solusinya. Sebagaimana yang dimuat di beberapa media, pernah suatu ketika Abu di ajukan pertanyaan oleh awak media terkait kondisi Aceh hari ini, dengan bahasa filosofinya yang sederhana tapi sarat dengan makna, Abu menjawab: “Malakat kana lam jaroe, Tuah kana bak droe, tapi lagee-lagee hana ta tuo’h peutimang” maksudnya “Perdamaian dengan segala hal yang melekat di dalamnya, seperti MOU Helshinki dan UUPA adalah salah satu malakat dan tuah yang dimiliki Aceh saat ini dan ini menjadi jembatan untuk Aceh menuju masa depan yang lebih cemerlang, tapi sepertinya keistimewaan tersebut malah kita sia-sia kan” lebih lanjut Abu menuturkan “ Saat ini Aceh membutuhkan sosok pemersatu yang mampu menyatukan seluruh elemen masyarakat dan sanggup memupuk persatuan antara ulama dan umara dalam membangun Aceh, seperti yang telah dipraktikkan oleh endatu kita pada masa Iskandar Muda. Ketika ulama dan umara berjalan sendiri-sendiri maka dengan sendirinya ummat akan terkotak menjadi dua bagian. Tapi ketika ulama dan umara sudah bersatu maka yang lahir hanyalah satu keputusan dan ummat pun akan bersatu dalam satu keputusan” Pada masa Iskandar Muda, ulama dan umara bersanding untuk membangun Aceh bukan malah bersaing, maka lahirlah istilah”Adat bak Poe Teumeuruhom, Hukom bak Syiah Kuala” sebagai simbol persatuan dua kekuatan nyakni umara dan ulama.
Padahal, masih menurut Abu” Watak masyarakat Aceh dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah, yang berubah adalah perangainya di sebabkan pengaruh budaya global”
Kemudian beliau merincikan tiga macam watak masyarakat Aceh, yaitu: (1) Geunaseh; (2) Seutia dan; (3) Beuhe. Sebagai ulama kharismatik yang lahir sejak masa penjajah, Abu Tumin menilai, ketiga watak yang melekat pada masyarakat Aceh ini merupakan aset yang bisa kita gunakan sebagai landasan untuk membangun Aceh. Tapi Aceh yang tidak dipecah-pecah kedalam bagian-bagian kecil, sehingga identitasnya hilang. Papar beliau.
Karenanya, dalam banyak kesempatan beliau selalu mengingatkan tentang pentingnya persatuan, lebih-lebih lagi persatuan antara ummat dan ulama. Beliau sangat mengecam oknum-oknum yang ingin memisahkan ummat dari ulama. Sebagaimana yang pernah beliau sampaikan dalam Acara Muzakarah Ulama Se-Aceh yang di adakan di Paya Pasi pada tahun 2016 silam. Kata beliau “Apabila ada pihak-pihak yang hendak memisahkan masyarakat muslimin Aceh dengan ulama, nyan beuneuteupu racon bagi droneuh” nyoe peusan, nyoe peusan, nyoe peusan dari ulon tuan, lanjut beliau lagi “Apabila teuma masyarakat nyoe ka meupisah ngon ulama, yang poh ulama adalah ureung Aceh sendiri” tutur beliau di depan ratusan masyarakat pada acara tersebut.
Kepedulian dan kepiawaian beliau dalam segala bidang ini membuat sosok Abu Tumin dijadikan rujukan oleh sebagian besar masyarakat dan pemerintah Aceh, bahkan dari kalangan apapun ketika berkunjung ke Aceh, serasa belum lengkap jika belum bersilaturrahmi dengan beliau.
Tidak hanya di dunia nyata, di dunia maya sendiri nama beliau termaasuk salah satu yang dijadikan tujuan pencarian, tapi sayangnya beliau tidak pernah bersentuhan dengan Sosial Media (SOSMED). Kalau ada akun di media sosial baik Facebook, Twiter dsb atas nama beliau maka dapat dipastikan akun tersebut dikelola oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan Abu tidak tahu-menahu tentang hal itu.” Abu berinteraksi melalui face to face tidak melalui facebook” begitu pengakuan salah satu santrinya.
Kini diusianya yang senja, Beliau masih nampak sehat dan segar. Pendengarannya masih sangat jelas, Penglihatanya tajam dan Pemikirannya pun cukup jernih. Kita berharap semoga beliau senantiasa diberikan umur panjang dan selalu sehat dalam mendampingi ummat fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah.
Sekian, sekilas tentang profil singkat Abu Tumin Blang Bladeh,.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://www.alhaq.xyz/riwayat-hidup-abu-tumin-blang-bladeh-dari-sejak-kecil-hingga-dewasa/
Nyan @martunis91 ka idrop le robot..hahahah