DUA sosok manusia terlihat mengendap-ngendap dalam remang-remang cahaya rembulan. Sesekali mereka berlari kecil setelah memastikan tidak ada orang yang mengikuti. “Hampir saja kita celaka. Perbuatan mereka harus segera kita laporkan ke istana. Siapa namanya tadi? Brahma Naga?”
“Bukan, Brahim Naga. Dia salah satu komandan balang yang menghilang lima tahun lalu usai percobaan kudeta gagal.” Kata pria lain yang masih saja melihat ke arah belakang.
Percakapan kedua orang ini terdengar hingga ke telinga Ben Puteh yang sedang bersembunyi di balik batu besar. “Hmm… Mereka menyebut nama pang,” batin Ben Puteh.
Kedua pria tersebut tidak menyadari kalau ada yang mendengarkan perbincangan mereka. Mereka terus berlalu menyusuri jalan setapak yang mengarah ke istana.
Ben Puteh yakin kedua orang tersebut merupakan prajurit istana. Namun, dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka sehingga menyebut nama Brahim Naga. Ben akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. Dia mengambil sebiji batu dan melemparkan ke arah kedua orang tersebut. (Baca: Disergap Penunggang Kuda)
Ilustrasi Badak Sumatera by wwf.or.id
Perbuatan Ben Puteh benar-benar membuat kedua orang itu terkejut. Mereka hampir saja mengeluarkan jurus kaki seribu jika saja tak melihat sosok Ben Puteh yang sedang duduk di atas batu besar. Cahaya rembulan menyorot utuh pria berperawakan kurus itu. Usianya juga terlihat tak lagi muda. Hal ini membuat kedua prajurit tersebut menjadi berani.
“Hei, kau kenapa melempari kami? Mau mati?” Tanya salah satu pria.
“Tak sengaja. Aku sedang melempar buah jambu di atas sana, ternyata batunya meleset ke arah kalian,” kata Ben Puteh.
“Ada apa malam-malam kamu melempari jambu? Cari mati saja kau? Tak tahu kami siapa?”
“Maaf tuan, saya tidak sengaja,” ujar Ben Puteh seraya meloncat dari batu besar.
Dia kemudian mendekat ke arah dua prajurit kerajaan itu. Sikap Ben Puteh membuat dua prajurit itu sedikit gentar. Mereka pun saling memandang. Salah satu prajurit itu kemudian meminta Ben Puteh berhenti. Dia juga meminta sosok yang ringkih itu untuk berlutut. Namun, orang yang diminta tetap berjalan ke arah mereka.
“Sial, tua bangka cari mampus. Hajar saja.”
Salah satu prajurit itu meradang dan hendak menerjang Ben Puteh. Namun, baru beberapa langkah dia justru tergelincir oleh kulit pisang. Prajurit itu mengumpat sejadi-jadinya sembari mengelus pantat yang kesakitan karena menduduki batu gunung.
Melihat temannya tak berdaya, prajurit lain menyerang Ben Puteh. Dia mencoba meninju Ben Puteh yang terlihat sangat tenang. Lagi-lagi, prajurit itu juga ikut tergelincir karena kulit pisang. Ben Puteh terkekeh. Dia terus mendekat dan melihat ke kanan dan kiri jalur setapak. Dari atas pepohonan dan batu-batu besar terlihat deretan siluet manusia berdiri.
Kedua pria tersebut akhirnya sadar. Mereka sedang disergap oleh sekelompok orang. “Aduh, keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya,” kata salah satu prajurit yang terus mengelus pantatnya.
Belasan pria yang dari tadi bersembunyi menampakkan diri. Mereka rata-rata mengenakan baju hitam dan menggunakan penutup wajah. Sementara Ben Puteh menonjok seorang prajurit yang bertubuh gempal.
“Ampuuun tuan…” teriak prajurit tersebut.
“Lho, kamu tadi menyebutku tua bangka, cari mati. Ini aku di hadapanmu, ayo pukul aku,” kata Ben Puteh menyeringai. Deretan tulang rusuk pria ini terlihat jelas dari balik bajunya saat Ben Puteh menantang pria bertubuh gempal itu.
“Kami hanya bercanda tuan. Maafkan saya dan teman saya ini. Kamu sih, nggak lihat-lihat siapa yang ditantang,” ujar si gempal menimpuk kepala temannya yang masih saja kesakitan karena menduduki batu.
“Aduh… kok aku? Bukannya kamu tadi yang…” Belum selesai pria itu berbicara, si gempal kembali melayangkan tangannya ke kepala temannya tersebut.
Melihat tingkah kedua prajurit yang saling menyalahkan tersebut, Ben Puteh kemudian menendang tubuh si gempal. Dia juga mempertanyakan alasan kedua orang ini menyebut-nyebut nama Brahim Naga.
“Dimana kalian bertemu mereka?”
Kedua prajurit itu kemudian menceritakan kejadian yang menimpa mereka dan memberitahukan lokasi Brahim Naga. Selanjutnya kedua pria itu diminta untuk menunjukkan lokasi Brahim Naga. Kedua prajurit ini merasa konyol. Mereka padahal telah bersusah payah untuk lolos dari sekapan Brahim Naga. Di perjalanan, keduanya pun kembali saling menyalahkan.
“Uiiii…auuu…auuu…ui…” Suara jeritan serupa anak kucing terdengar dari sudut pepohonan. Ben Puteh berhenti. Begitu pula rombongan yang mengikuti. Sementara si gempal masih saja mencaci maki diri sendiri dan rekannya. Dia berulang kali menyebut kata-kata sial hingga akhirnya seorang lelaki berpakaian hitam menimpuk kepalanya.
“Sengap!”
Si gempal terdiam. Temannya cengengesan karena senang melihat nasib gempal yang berulangkali kena tamparan dari si penyergap.
“Prak…Kamu juga diam!” Sekonyong-konyong, prajurit yang tubuhnya lebih kecil itu juga kena timpuk.
Suara itu kian mendekat. Kali ini disertai dengan bunyi batu-batu yang berserakan seperti ada sesuatu yang besar sedang berlari. Semua manusia di jalan setapak itu terdiam.
“Badak…” Seseorang menunjuk makhluk yang sedang berlari dari arah barat yang melintasi jalan setapak dari arah hutan.
Tanpa diperintah, semua orang menyelematkan diri ke sisi badan jalan setapak. Namun, tidak untuk si gempal. Prajurit itu bersiap-siap melarikan diri ketika melihat kawanan penyergap mencoba bersembunyi di balik pepohonan. “Shhh… kemari,” kata salah satu penyergap.
Si gempal pura-pura tidak mendengar dan akhirnya berbalik arah seraya mengambil jurus kaki seribu. Melihat sosok manusia yang sedang berlari, membuat badak jantan menjadi beringas. Hewan bercula itu kemudian mengejar si gempal yang terlihat kepayahan kabur dari lokasi.
“Mampus dia, kenapa malah melarikan diri?”
Gempal tak kuasa berlari. Dia terjatuh. Tubuhnya yang tambun menjadi samsak hidup bagi badak yang berlari cepat dari arah belakang. “Brukk….”
Gempal mencoba bangkit. Kepalanya berdarah karena menghantam batu gunung. Melihat sasarannya masih bangkit, badak tadi kembali menghadang. Dia memutar-mutar ilalang dengan kakinya. Badak itu kembali menerjang si gempal. Usus prajurit itu terburai terkena cula badak sepanjang 35 centimeter. Dia rubuh.
Badak itu kembali menyeruduk gempal yang sudah tergolek di bahu jalan. Setelah memastikan sasarannya tidak bergerak lagi, badak tersebut kemudian melanjutkan perjalanan ke arah rimba Lemur.
Para penyergap yang merasa kasihan mencoba menyelamatkan gempal sepeninggal badak. Namun nahas, nyawa si gempal tidak tertolong. Para penyergap tak mampu berbuat apa-apa sementara malam kian larut. “Tinggalkan saja tubuhnya disitu. Nanti kalau kita urus, malah ketahuan oleh para prajurit istana.” Ben Puteh memerintahkan anak buahnya untuk melanjutkan perjalanan. Sementara rekan si gempal hanya mampu menatap nanar jasad temannya.[] (bersambung...)
Catatan: Tulisan ini merupakan serial fiksi yang saya garap dalam satu bulan terakhir. Tulisan-tulisan sebelumnya juga telah dipublikasi di blog ini dengan judul Petarung Cilik, Pulau Volcano, dan Lereng Lemur. Baca juga tulisan pertama berjudul Pawang Harimau, dan cerita sebelumnya; Kisah Kematian Si Tangan Kanan, Bertemu Si Bulu Merah, dan Siwah Mencuri Makanan Elang.
Posted from my blog with SteemPress : https://abigibran.000webhostapp.com/2018/09/amuk-badak
Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by boynashruddin from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.
If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.