Tidak ada yang lebih membahagiakan dari ketika mendapati saudara muslim yang ingin kembali ke jalan Allah
Apa kabar rekan-rekan stemian? Semoga semua ada dalam perlindungan Tuhan yang Maha Esa.
Di awal tulisan ini terlebih dahulu saya ingin mengucapkan terima kasih kepada dinda @anggreklestari atas diadakannya Kontes Bahagia Itu Sederhana. Saya meminta ijin untuk ikut berbagi kisah kebahagian yang pernah saya alami.
Kisah yang akan ada di bawah adalah sebuah cerita yang saya tulis pada akhir tahun 2015. Walaupun bukan tulisan yang baru lahir semoga tidak mengurangi nilai kebahagian bagi rekan-rekan steemian dan dewan yuri semua.
Piramid, lokasi dimulainya cerita ini
Kemarin siang, setelah belajar menulis dengan Mr. Golagong dengan langkah cepat saya telusuri jalanan di sekitar Piramid menuju terminal bis Taichung. Waktu sudah menunjukan pukul 14.40, itu berarti saya hanya punya waktu 20 menit lagi untuk bisa tepat waktu sampai di rumah majikan sesuai dengan ijin sebelum berangkat.
Sampai di terminal langsung saya cari papan pengumuman jadwal keberangkatan bis. Bis nomer 35 yang menuju halte di dekat apartemen yang saya tinggali baru akan sampai terminal dalam 21 menit lagi. Saat ini bis tersebut jaraknya masih ada 12 halte dari terminal, itupun jika bis tidak terlambat datang. Jika saya tetap menginginkan menggunakan bis nomer 35 tersebut sudah pasti akan terlambat sampai di rumah.
Segera saya tinggalkan terminal, menyeberangi jalan yang kebetulan lampunya sedang menyala merah. Saya harus menuju halte terdekat karena bis bernomer 73 yang lewat apartemen tidak berhenti di terminal. Namun sungguh, Allah memberi takdir tak sesuai harapan, tepat ketika saya mencapai seberang jalan, bis yang saya impikan akan membawa pulang melaju di depan mata. Wah, kali ini saya benar-benar gagal total menggunakan fasilitas transportasi gratis kota Taichung jika tidak ingin ditegur majikan karena pulang tak sesuai janji.
Saya putuskan untuk menyetop angkutan berargo, alat tranportasi umum berwarna kuning. Sangat mudah untuk mengunakan alat transportasi ini di seluruh kota di negara ini. Jika ada di daerah sepi ataupun di jam bukan sibuk, kita tinggal masuk ke 7-11 dan memanggilnya menggunakan mesin IBON. Gratis tanpa perlu membayar biaya pemanggilan. Namun karena ketika itu masih di kawasan ramai dan di jam sibuk, saya tinggal berdiri di pinggir jalan dan menanti mereka lewat.
Tidak sampai satu menit, taksi yang saya harapkanpun datang. Saya segera masuk dan duduk di jok belakang.
“Nin hau?” sapaku pada pak supir. Di Taiwan wajib menyapa dengan sapaan salam tersebut kepada siapapun pada saat bertemu untuk memulai berinteraksi, baik dengan orang yang sudah dikenal maupun tidak.
“Hau, Ci na li?” Kusebutkan nama jalan dan nomer apartemen yang dituju. Namun mungkin lidahku tidak mengucap dengan benar. Ape, supir taksi itu tidak memahaminya. Segera saya cari alamat yang tersimpan di hape dan memperlihatkan kepadanya. Ape mengeryitkan kening, katanya dia tak tahu alamat itu. Saya melihat ke bagian depan sekitar tempat kemudi, tak saya lihat alat GPS yang bisa memudahkannya.
“Ape, apakah Anda tahu Chung Shin university?” tanyaku kepadanya.
“Ya tahu.”
“Kalau begitu, antarkan saya kesana. Dari tempat itu saya tahu bagaimana menuju alamat itu.”
Ketika kami sedang melaju melewati jalan-jalan kota Taichung, ape membuka percakapan.
“Sioce, apakah Anda muslim, Anda memakai tutup kepala?” tanyanya.
“Iya.”
“Anda berasal dari mana?” tanyanya lagi.
“Saya orang Indonesia.”
“Orang Indonesia banyak yang muslim. Saya juga muslim.” Kalimat keduanya mengagetkan sekali. Dengan cepat saya alihkan pandangan saya dari layar hape untuk menatapnya dari belakang, tiba-tiba saya merasa sumringah.
“Assalamu’alaikum.” Ucapkan salam segera meluncur dari mulut saya . Namun ternyata dia tidak mejawabnya.
“Jangan bicara seperti itu kepadaku. Saya sudah lupa, tidak tahu mau menjawab apa.” Pandangannya lurus ke depan. Ke arah jalanan.
“Lho, katanya Ape muslim?”
“Ayah saya muslim, dulu waktu saya kecil saya sering diajak ke Nantun, disana ada tempat untuk sembahyang.”
Saya memperhatikan dia dari belakang. Usianya sudah melewati angka 70. Kemudian dia mulai bercerita jika mereka bukan orang pribumi. Mereka pendatang dari Talu (daratan Cina). Keluarga mereka beragama islam. Karena kemiskinan dan tidak adanya komunitas muslim membuat mereka pelan-pelan melupakan agama yang telah dianutnya. Saat dia kecil dulu, dia sering diajak ke masjid oleh ayahnya bila hari raya tiba. Cuma hari raya saja katanya.
Ayahnya meninggal ketika dia baru menginjak remaja, dan sejak itu dia tidak pernah ke masjid lagi. Saat ayahnya meninggal, jenasah ayahnya dibungkus dengan kain putih (dikafani) lalu dikuburkan selayaknya muslim. Namun sejak itu islam dilupakan oleh keluarga itu. Hanya satu hal saja yang mereka masih pegang teguh sampai hari ini, yaitu mereka tidak makan babi.
Saya membei saran agar dia kembali datang ke masjid di Nantun. Namun dia mengaku binggung mau apa di Nantun nanti. Kemudian dia mengaku tidak tahu apapun tentang islam, tepatnya sudah lupa. Ketika masih kecil, ayahnya hanya mengajarkan agama islam sedikit sekali dan sudah berpuluh tahun tidak dingatnya. Dia juga mengaku sekarang tidak mengamalkan agama apapun, namun dia ingin jika meninggal nanti akan dikafani seperti ayahnya.
“Bagaimana dengan anak-anak Anda, apakah mereka beragama?” Saya bertanya lagi.
“Tidak, mereka tidak sembahyang, tidak beragama apa-apa.”
“Lalu bagaimana mungkin Anda ingin jika meninggal akan diurus seperti orang muslim. Sekarang tidak ada seorangpun yang mengetahui kalau Anda muslim.” tanya saya dengan bahasa pas-pasan. Entah dia mengerti atau tidak, tapi sepertinya dia paham.
"Saya sudah bilang kepada anak saya agar menghubungi masjid Nantun jika saya meninggal.”
“Ape, muslim itu bukan sekedar bagaimana memperlakukan jenasah. Justru yang penting adalah amalan sebelum meninggal.”
“Saya selalu berusaha jadi orang baik.”
“Itu belum cukup, karena menjadi muslim tidak hanya berbuat baik kepada manusia, tapi juga harus bersembahyang untuk memuja Tuhannya.”
“Saya tidak pernah sembahyang, karena saya tidak tahu caranya.”
“Ape, datanglah ke masjid di Nantun. Disana nanti Anda akan bertemu banyak saudara muslim yang bisa mengajari.”
Kami kemudian saling diam, saya ingin sekali memberinya sedikit titik terang beragama, tapi tak bisa berkata banyak dengan kemampuan bahasa saya ini yang minin. Tak lama kemudian perjalanan kami berakhir karen taksi sudah ada di depan apartemen. Sebelum turun
Saya mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum.”
Tiba-tiba dia memanggil.
“Sioce, tunggu!” Saya menghentikan tangan yang akan membuka pintu.
“Coba ajari saya mengucapkan yang baru saja Sioce katakan.” pintanya.
Pelan saya mengajarinya mengucapkan salam dan jawabannya. Dengan terbata dia menirukan beberapa kali. Setelah dirasa cukup lancar saya segera berpamitan kepadanya. Sebelum menutup pintu taksi dia bilang akan segera pergi ke masjid Nantun. Dan ada satu kata lagi yang membuat saya tersenyum.
“Sioce, saya masih menyimpan topi ayah saya. Saya akan memakainya nanti”
Pintu taksi saya tutup dengan senyum mengembang. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari ketika mendapati saudara muslim yang ingin kembali ke jalan Allah.
Selesai
Ditulis, di kota Taicung 15 Desember 2015
Demikianlah kisah bahagia itu sederhana yang bisa saya tuliskan.
Nin hau = Apa kabar
Hau, Ci nali = Baik, kemana
Ape = Paman
Sioce = Nona
Subhanalloh....ksian skli ya mba @yulianti....
Smoga alloh mmpermudah keinginannya... Untuk kmbali ke jalan alloh...aamiin...
Itulah salah satu contoh kalu komunitas itu penting. Ketika sendirian tanpa motivasi bisa jadi ideologi pun menjadi hilang mba @ainee