Tradisi Berguru di Aceh, Review Acehnologi (III :28)

in #acehnologi6 years ago

  Assalamualaikum wr, wb. Kali ini saya akan melanjutkan review buku Acehnologi karya bapak KBA volume 3 bab 28 tentang Tradisi Berguru di Aceh.

Pada bab ini penulis ingin melihat tradisi meugure (berguru) di Aceh. Dapat dikatakan bahwa tradisi meugure memang menjadi satu nafas kehidupan rakyat Aceh. Karena seseorang dianggap berguna dan berfungsi dalam masyarakat, jika oerang tersebut pernah meugure pada seorang ulama atau guru, baik di dayah maupun madrasah.

Di Aceh, istilah untuk mencari ilmu adalah jak meudagang (pergi berdagang). Sepintas, istilah tersebut terlihat seperti seseorang yang ingin melakukan aktifitas perekonomian atau berjualan. Bahkan istilah untuk berdagang, orang Aceh menyebutnya dengan kata meukat.

Bagi orang aceh, dayah merupakan pusat dari ilmu pengetahuan. Sistem pendidikan yang saling berkait dengan masyarakat dan kegiatan yang melingkupinya, menjadikan pendidikan orang Aceh saling terintegrasi antara dunia ilmu pengetahuan dengan keperluan masyarakat. Sehingga, keberadaan tradisi meugure seperti ini, menjadikan lembaga ini sebagai tempat untuk mencari jejak spirit ke-Aceh-an. Proses transfer ilmu dengan spirit menjadi dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan. Akibatnya, jebolan dayah pada saat itu memang betul-betul dapat dirasakan oleh masyarakat.

Persoalan mendasar dalam memahami dunia pendidikan di Aceh adalah karena kehilangan arah orientasi. Dunia pendidikan tidak lagi berorientasi menuju pada keshalehan individu atau keshalehan sosial yang merupaka titik tumpuan dari mikrokosmos. Sehingga, warna pendidikan yang tidak memiliki orientasi ini diisi dengan sistem berpikir yang tidak menciptakan pemikir. Dalam dunia intelektual Aceh, pasca-bergabung dengan Republik Indonesia, Aceh sebenarnya memiliki sarjana yang masuk dalam ketegori ini. Mereka bukanlah alumni luar negeri ataupun memiliki latar belakang pendidikan yang sangat tinggi, mereka akhirnya berada di garda depan dalam pengembangan intelektual di Indonesia. 

Salah satu alasan tradisi intelektual di Aceh mencapai kesuksesan, karena ada “kegelisahan” pada sebagian sarjana akan “apa yang diwariskan” terhadap generasi berikutnya. Selain itu, mereka juga mengerti betul bahwa melalui tradisi intelektual, Aceh bisa menemukan jati diri ke-Aceh-an mereka. Walaupun karya mereka dibaca secara nasional atau menjadi arsitek dunia perguruan tinggi, namun warna ke-Aceh-an tetap melekat pada sistem berpikir mereka. Sistem berpikir ini tidak jauh dari tradisi meugure yang dijalankan oleh endatu orang Aceh. Tujuannya adalah seorang ilmuan ibarat seorang pedagang yang tidak memiliki untung untuk hari itu saja, tetapi juga bagaimana mewarisi cara dan gaya kehidupan pada generasi berikutnya dengan proses pembelajaran. 

Dunia pendidikan di Aceh bukanlah tradisi yang berdiri sendiri, melainkan memiliki kaitan sejarah. Hubungan inilah yang telah terputus selama ratusan tahun. Saat ini, seolah-olah pendidikan Aceh merupakan satu pengalaman baru yang terkoyak dari spirit yang ada pada orang Aceh sendiri. Proses pemilihan orientasi pendidikan dalam dunia intelektual di Aceh, telah menyebabkan negeri ini tidak mampu lagi menemukan jati diri ke-Aceh-an. Dahulu pendidikan diarahkan untuk mempertemukan makro dan mikro kosmos. Setelah Aceh bertemu dengan peradaban Barat dan Jawa, akhirnya arah pendidikan di Aceh hanya ditujukan pada aspek mikro-kosmos. Walaupun demikian, Aceh tetap menghasilkan pemikir-pemikir yang sangat otentik. Mereka dengan segala keterbatasan, telah menghasilkan karya dan spirit intelektual yang amat kuat pada generasi berikutnya. 

Beberapa hal yang digarisbawahi oleh penulis. Pertama, Aceh memiliki akar sejarah tersendiri dalam membangun dunia intelektual. Akar ini telah berlangsung selama ratusan tahun. Bahkan ketika Aceh sudah bangkit, Barat baru menemukan spirit intelektual mereka, seperti yang diperlihatkan oleh Hegel dan generasi berikutnya. Kedua, spirit intelektual di Aceh telah kehilangan bentuknya, sehingga aspek kosmologi Aceh yang menjadi landasan filosofis dan metafisik cara berpikir orang Aceh begitu susah ditemukan. Ketiga, kajian ini memperlihatkan bahwa tradisi meugure di Aceh telah menghasilkan satu peradaban tersendiri. Namun tradisi meugure saat ini tidak lagi menjadi hal penting dalam dunia intelektual di Aceh. Bahkan dunia pendidikan Aceh sama sekali tidak lagi diperhitungkan baik dalam skala nasional maupun internasional. 

Cukup sekian review dari saya mengenai bab ini, masih ada bab selanjutnya yang akan saya review, semoga teman-teman semua tidak bosan membacanya, wassalamualaikum wr, wb.