A: ambil jurusan apa?
B: pertanian.
A: yah, pertanian. nanti kalo lulus sulit nyari kerja loh.
C: gaji kamu berapa sob?
D: 2.300.000 sebulan.
C: kamu tuh S2. kok cuma digaji segitu?
E: rumahnya bapak kamu?
F: iya.
E: sudah nikah kok masih numpang di rumah orang tua?
G: anaknya baru bisa jalan, umur berapa jeng?
H: 11 bulan.
G: wah telat itu. anak saya aja baru umur 9,5 bulan sudah bisa jalan kok.
Stop, please!
Bisa ngomong yang baik gak? Kalo gak bisa, mending diem aja.
Sadar gak?
Karena omongan kita, seorang mahasiswa bisa jadi gak bersyukur ketika masih banyak anak-anak yang bahkan menerima pendidikan di bangku SD saja tidak, seorang karyawan bisa jadi gak bersyukur ketika banyak pengangguran yang bingung harus nyari kerja di mana, seorang suami bisa jadi gak bersyukur ketika masih banyak jones yang bingung nyari tulang rusuknya ketelisut di mana, seorang ibu bisa jadi gak bersyukur ketika masih banyak pasutri yang merindukan momongan?
Apa faedahnya bertanya seperti itu?
Apakah menjamin kebahagiaan kalau kuliah dengan jurusan tertentu, gaji tinggi, rumah pribadi, anak bisa salto lebih cepat dari waktu normal?
Apakah manusia diciptakan dengan standar kebahagiaan yang sama?
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik, atau hendaklah ia diam."
Rasul kita telah mengajarkan untuk berkata yang baik, bukan baik menurut kita, tapi baik bagi yang mendengarkan. Karena kata-kata yang telah lepas dari lisanmu bukan lagi milikmu, ia milik yang mendengarkan.
Diam itu emas.
Tong kosong nyaring bunyinya.
Air beriak tanda tak dalam.
Air yang tenang jangan disangka tak berbuaya.
Yah, bahkan nenek moyang kita telah meninggalkan pribahasa untuk kita yg menyiratkan arti bahwa orang berilmu itu lebih banyak diamnya.
(Saya mau nulis gini,) Jangan dengarkan nyiyiran seperti itu, berat, kamu gak akan kuat, aku saja. (Tapi karena ini tulisan saya, gak jadi. nanti dibilang plagiat)
Nah, semoga kita bertambah bijak setiap harinya.
Aamiiiin...,
(folded hands)
.
.
cr alwi
Follow @sabruljem