Kabar duka meninggalnya Bondan Gunawan hari ini, Kamis (23/5/2019) menyebar dengan cepat, termasuk di Aceh.
"Innalillaahi wainna ilaihi rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, sahabat, orang tua, guru, senior kami, mantan pendiri Forum Demokrasi, mantan Mensesneg era Gur Dur, IR. Bondan Gunawan Sastrosudarmo," tulis pesan tersebut.
Bondan akan disemayamkan di rumah duka di Jalan Cendrawasih Mas VIII, Blok A9 Nomor 4, Perumahan Tanjung Mas Raya, Tanjung Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Pihak keluarga pun meminta maaf jika selama hidup Bondan Gunawan pernah melakukan kesalahan.
"Jika pernah semasa hidupnya, beliau memiliki khilaf dan janji yg belum sempat terpenuhi, mohon dibukakakan pintu maaf yang sebesar-besarnya," tutup pesan dari pihak keluarga.
Aktivis KontraS, Malik Feri Kesuma, melalui halaman facebooknya pernah menulis pertemuannya dengan Bondan Gunawan, yang menyinggung Aceh.
"Tahun lalu, sempat diskusi dgn pak Bondan Gunawan di rumahnya. Ada byk hal yg kami diskusikan, salah satunya pengalamannya ketika ke Aceh bertemu dgn Panglima GAM (Alm) Abdullah Syafie."
"Ketika saya mau pamit pulang, ia memberikan kliping koran. "buat bung, ini tulisan saya tentang Aceh."
"Malam ini, saya diundang ke acara lounching bukunya. Dalam buku ini ia mengisahkan pengalamannya ketika berusaha mencari jalan damai di Aceh dan pengalamannya bertemu dengan Panglima GAM (alm) Tgk Abdullah Syafie. Panglima yg sudah byk dilupakan oleh GAM, kini tampil dalam bentuk gambar di hadapan para hadirin di Museum Nasional."
Aceh dimata Bondan Gunawan terbilang istimewa. Hal ini terlihat dalam tulisannya di Majalah Tempo 2003. "MASIH pantaskah negeri kita disebut Indonesia tanpa Aceh?"
Menurut Bondan Gunawan, sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Aceh-dengan segala daya hidup dan dinamika yang dimilikinya-adalah investor persatuan Nusantara sedari dulu. Sejak interaksi berbagai suku bangsa melalui perdagangan, nun di masa lampau, Samudera Pasai telah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi untuk memperluas persaudaraannya di kepulauan Nusantara. Kerajaan Islam yang pertama ini pulalah yang kemudian menyumbangkan sedikitnya tiga di antara sembilan Wali Sanga di tanah Jawa. Di Aceh pula, kolonial tak berhasil mencengkeramkan kukunya. Kuta Raja, Banda Aceh sekarang, adalah kota yang menggemaskan gubernur jenderal di Batavia karena tidak tertaklukkan.
Dalam tulisan itu Bondan juga menyinggung pertemuannya dengan Abdullah Syafie, yang sudah lebih dahulu syahid. "Sewaktu bertemu dengan almarhum Teungku Syafe'i, saya menyaksikan penderitaan batin yang teramat dalam yang dialami saudara-saudara kita di Aceh. Perjumpaan yang sesungguhnya dalam kapasitas pribadi, namun sebagai salah seorang pejabat resmi, saya berpendapat sesungguhnya "ketidakadilan"-lah yang menyulut bara api itu."
Bondan juga sangat memahami detak nadi Aceh. Baginya, rakyat Aceh, sebagaimana rakyat kita di seluruh pelosok negeri, sudah tak mampu lagi menanggung kesengsaraan yang berkepanjangan. Kekayaan alamnya dikuras, sementara para ahli waris Uleebalang, yang hanya sukses memenuhi kepentingannya dengan mengatasnamakan rakyat Aceh di hadapan pemerintah pusat, menikmati kemewahan yang tak alang kepalang.
"Teungku Hasan di Tiro sendiri menetap di Swedia, sebagai warga negara dari sebuah negeri yang aman tenteram, jauh dari negeri tempat rakyat Aceh hidup dalam segala kesengsaraannya," tulis Bondan.
Di akhir tulisannya, Bondan seperti mampu membaca gerak batin rakyat Aceh. "Rakyat Aceh mungkin akan memaafkan segala kesalahan itu dengan segenap ketulusan, Namun mereka takkan pernah bisa melupakannya, Inilah sejarah yang akan terus di ceritakan kepada anak cucu mereka kelak. Inilah sebuah keyakinan. Bila keyakinan ini menjadi milik bersama, untuk kiprah bersama pula, akan terasa bahwa kedamaian yang didambakan itu begitu dekat. Dan pada saatnya, senjata pasti akan berhenti berdentam. Membisu seperti orang-orang mati. Ketika hati berpaling dari yang bernama kekerasan."
Keterangan
Foto diambil dari google, twitter dan facebook.