Membaca adalah jendela dunia. Istilah itu sering diungkapkan guru-guru SD waktu kita masih kecil. Tapi, saat ini pun, ketika kita diberi pertanyaan: Sudahkah membaca sebuah buku hari ini? Rasanya sebagian besar dari kita akan menjawab belum. Tahun ini sudah berapa buku kalian baca? Sepertinya, sebagian besar juga akan menjawab "nggak ada". Saat memberikan kuliah di sebuah jurusan, saya bertanya, "berapa buku yang sudah kalian tamatkan tahun ini?". Sayup-sayup terdengar jawaban "belum ada", "satu, pak". Ketika saya tanya satu per satu, jawabannya rata-rata "hehehe".
Itulah sekilas budaya membaca kita. Memang begitu rendah. UNESCO pernah merilis hasil studi mereka bahwa minat baca di Indonesia adalah 0,001. Artinya, dari seribu warga Indonesia, hanya satu orang yang hobi membaca buku. Pernah juga, sebuah universitas di Amerika, Connecticut State University, merilis hasil penelitian tentang kebiasaan membaca di 61 negara sampel. Hasilnya, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara. Indonesia berada di peringkat dua terbawah. Hanya satu negara yang lebih malas membaca, yaitu Botswana. Indonesia bahkan posisinya paling bawah diantara negara-negara ASEAN. Singapore menempati peringkat 36, Malaysia 53, Thailand 59 dan Indonesia 60. Dengan mudah kita bisa menyimpulkan bahwa "Indonesia adalah negara paling malas baca kedua di dunia".
Negara-negara maju di Eropa dan Amerika menempati 10 besar paling rajin membaca di dunia. Peringkat pertama adalah Finlandia, disusul Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia. Negara-negera ini berada di kawasan Skandinavia, kawasan yang sering disebut-sebut sebagai kawasan paling baik kualitas hidupnya di dunia. Setelahnya ada Swiss, Amerika Serikat dan Jerman. Jadi, jangan heran jika pemenang nobel, universitas, teknologi hingga sumber daya manusia terbaik ada di negara-negara ini. Hal ini juga menandakan bahwa masyarakat Eropa dan Amerika bersedia berkorban lebih besar untuk membeli buku atau memprioritaskan membaca daripada kegiatan-kegiatan lainnya. Hal ini misalnya terlihat jelas dari aktifnya perpustakaan. Sebulan atau beberapa minggu sebelum ujian, dipastikan akan sulit mendapatkan kursi di pustaka kampus.
Secara umum, kebiasaan membaca negara-negara Asia memang relatif lebih rendah. Negara Asia dengan minat baca terbaik adalah Korea Selatan, yang menempati peringkat 22. Jangan heran, banyak studi mengatakan bahwa negara-negara Eropa dan Amerika jauh lebih inovatif daripada negara-negara Asia.
Kembali ke Indonesia. Selain malas baca, hasil studi mengindikasikan bahwa warga indonesia tidak ingin berkorban banyak untuk sebuah buku. Daripada membeli buku, mungkin sebagian besar dari warga indonesia lebih memilih membeli smartphone baru atau bahkan mungkin sebungkus rokok. Anak-anak masa sekarang bersedia menabung untuk membeli iphone, tapi tidak bersedia menabung untuk membeli buku. Selain itu, hal ini juga menandakan bahwa kita lebih memilih kegiatan lain daripada membaca buku. Sebagian besar warga Indonesia mungkin akan lebih memilih untuk menghabiskan waktunya untuk nongkrong, tidur-tiduran, bermain smartphone, dan lain-lain.
Kebiasaan malas membaca membawa dampak negatif ke segala bidang kehidupan. Sumber daya manusia, teknologi dan universitas di Indonesia begitu tertinggal. Hal ini juga berdampak pada menurunnya budaya berpikir kritis pada warga, padahal akses terhadap informasi sudah lebih mudah saat ini melalui internet.
APJII (Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia) merilis studi pada tahun 2014 tentang penetrasi internet Indonesia. APJII menyatakan bahwa pengguna internet indonesia telah mencapai sekitar 72 juta penduduk. Sayangnya, penetrasi internet yang tinggi tidak dimanfaatkan untuk transfer pengetahuan. Indonesia justru hanya sekedar menjadi negara pengguna facebook dan twitter terbesar di dunia.
Budaya malas baca penduduk Indonesia berdampak ke dunia maya. Indonesia bisa dikatakan menjadi rumah surga hoax sedunia. Indonesia telah memasuki masa post-truth, yaitu masa dimana masyarakat yang kekurangan sumber bacaan ilmiah memfilter kebenaran tidak berdasarkan kebenaran ilmiah, tapi berdasarkan emosi dan keyakinannya masing-masing. Dengan kata lain, pengguna internet di Indonesia memilih kebenaran berdasarkan yang disukainya. Hal ini terjadi akibat banyaknya versi kebenaran yang ada saat ini. Lihatlah contoh bagaimana lembaga penelitian polling survey di masa-masa pemilu yang memenangkan calon pemimpin dari pihak yang mempekerjakan mereka. Versi kebenaran yang paling benar sebenarnya bisa diketahui dengan makin banyak membaca. Namun, masyarakat yang malas baca tidak akan memilih jalan ini. Mereka justru mengambil jalan pintas dengan memilih kebenaran yang disukainya. Jangan heran, hal-hal anti penemuan ilmiah seperti Flat Earth saja telah memiliki pengikutnya. Hal ini juga dapat dilihat dari menjamurnya website-website pemuja tokoh politik. Di masa post truth ini, politisi-politisi akan lebih mudah lagi mempermainkan pikiran masyarakatnya. Bersamaan dengan itu, masyarakatnya menjadi kehilangan daya kritis, tidak ilmiah, dengan sosial media yang penuh debat kosong dan tidak berguna.
Pada dasarnya, keadaan ini memang sebenarnya sudah bisa diprediksi sejak dulu. Hal ini tidak terlepas dari sistem pendidikan kita yang memang tidak terlalu mendorong pelajarnya untuk mandari dan membaca. Saya masih ingat di Jerman dulu Profesor kami pernah meminta kami untuk membaca lebih dari 80 halaman dalam satu minggu. Mahasiswanya akan segera ke pustaka untuk memperebutkan buku tersebut. Sementara disini, seorang kolega dosen pernah bercerita bahwa ketika ia meminta mahasiswanya membaca paper 10 halaman, reaksi dari mahasiswanya adalah "gak ada waktu pak", "banyak tugas", diikuti sorakan "yaaaaah" yang panjang dari mahasiswanya.
Hal ini menunjukkan betapa malas bacanya masyarakat kita.
This post received a 2.11% upvote from @randowhale thanks to @rikiputra! To learn more, check out @randowhale 101 - Everything You Need to Know!
Bagus sekali postingannya
@rikiputra
Semoga menjadi manfaat tulisan ini
terima kasih
tulisan ini bisa untuk menambah gizi untuk para steemian!... :D
lol