BANDA ACEH – Analis Politik Aceh Institute Fajran Zaini menilai banyak kalangan perempuan di Aceh menilai proses politik yang terjadi saat ini tidak halal. Akibatnya, hal itu berdampak kepada minimnya kalangan perempuan di Aceh yang terjun ke kancah politik dan menjadi seorang politisi.
“Banyaknya perilaku politisi yang tidak sesuai saat ini, hal ini membuat kalangan perempuan di Aceh mempresepsikan bahwa proses politik itu tidak halal. Bisa kita lihat sekarang berapa banyak kader-kader perempuan yang masuk dalam proses kancah politik,” kata Fajran Zaini saat menjadi pemateri dalam rapat dengan pendapat masyarakat dengan tema “Praktek politik haram cerminan perilaku politisi” yang digelar oleh Gerakan Pemuda Islam (GPI) Aceh, Minggu (22//4/2018), di Aula Kesbangpol Aceh.
Padahal, kata Fajran, Aceh sangat membutuhkan perwakilan-perwakilan perempuan di parlemen, untuk dapat menyuarakan persoalan kalangan perempuan. Hal itu karena, kata dia, persoalan perempuan di Aceh lebih dipahami dan diketahui oleh kalangan perempuan itu sendiri.
“Di DPR Aceh hanya beberapa orang anggota dewan yang dari perempuan. Ada beberapa partai bahkan tidak ada anggota dewannya yang dari kalangan perempuan,” ujarnya.
Namun, Fajran menambahkan, keterlibatan perempuan Aceh di kancah politik juga terdapan persoalan sendiri. Hal itu, kada Farzan, karena ada pihak yang memiliki faham bahwa perempuan tidak boleh terlalu terlibat di panggung politik, lebih baik di rumah saja menjaga dan membesarkan anak.
“Saya tidak ingin masuk ke dalam perdebatan pemahaman itu, yang jelas, keterlibatan perempuan dalam kancah politik, menurut saya adalah sesuatu yang penting,” ujarnya. “Untuk perempuan itu berani mencalonkan diri saja sudah baik, soal terpilih atau tidak, itu nanti, yang penting sudah ada calonnya.”
Politik, Fajran menjelaskan, prinsipnya adalah bersifat netral. Hal yang membuat politik itu menjadi tidak halal adalah prosesnya atau tindakan yang dilakukan para politisi itu sendiri ketika menjabat dan menggunakan kekuasaanya.
“Ada pragmatisme politik yang terjdi di Aceh. Dalam lima kali pelaksanaan pemilu di Aceh pasca perdamaian selalu diwarnai kekerasan dan money politic (politik uang), meski hal itu terjadi penurunan setiap pelaksanaan pemilu,” jelasnya.
Adanya politik haram terjadi di Aceh, Fajran menjelaskan, juga karena dalam politik itu sendiri mereka yang belum berkuasa ingin berkuasa. Sedangkan yang berkuasa akan mempertahankan kekuasaannya.
“Maka jangan heran akan terjadi kecurangan dan kekeraan dan politik uang. Ketika proses awal saja tidak halal, bayangkan saja bagaimana ke depannya,” ungkap Fajran yang juga menjabat sebagai Komisioner KKR Aceh ini.
Namun, Fajran mengatakan, tidak semua politisi di Aceh yang melakukan politik pragmatis, di mana sebagian kecil menurutnya masih menjaga idealisme mereka, dengan berpolitik halal dan santun.
“Namun saat mereka berada di dalam parlemen, mereka tidak memiliki kekuatan, karena para politisi lainnya tidak sependapat dengan mereka yang menjaga idealisme. Akibatnya, mereka tidak akan bertahan lama dan akhirnya juga akan terpaksa masuk ke dalam sistem,” jelasnya.
Agar adanya perubahan ke depan, Fajran mengatakan masyarakat Aceh harus dapat jeli dalam memilih wakilnya di parlemen. Masyarakat, kata dia, harus mengetahui apa visi-misi dan kualitas dari calon legislatif tersebut.
“Jangan karena uang 200 atau 300 ribu lalu memberikan hak pilihnya kepada politisi itu, sehingga rugi selama lima tahun. Padahal jika masyarakat tidak ‘menjual’ suaranya, mereka akan tetap dihargai, dengan dapat mengajukan program-program yang lebih besar kepada politisi itu untuk diperjuangkan di parlemen,” ujarnya.