Membanding-bandingkan tatapanmu dengan mata kucing biasanya membuatku lekas ngantuk. Membayangkan engkau kelak beranak pinak tanpa kasih sayang semestinya, serta merta membuatku menghindari membuat pernyataan resmi tentang perasaan-perasaan ganjil. Ini puisi terakhir tentang kasus-kasus asmara yang kadangkala terlalu berlebihan ditanggapi. kau tahu? orang semakin malas memperdebatkan sesuatu yang sifatnya relatif. Duduk di warung kopi, berdiskusi, curhat dan lalu patah hati. Atau mencampuri urusan orang lain dengan kehendak menggurui. Masalah-masalah pribadi dibongkar tanpa ampun. Dan warung kopi menjadi semacam pasar yang menjual keluhan-keluhan.
Kita dibesarkan dalam budaya lawak yang pada dasarnya teramat sulit buat ditertawakan. Televisi, papan rekalame, selebaran, brosur-brosur telah memenuhi kepalaku dan ruang hatimu.
Lalu di sepanjang tutue pante pirak saat iklan-iklan papan reklame mengencingi kepala kita dari atas, aku kehilangan kata cinta. Kita memungut asmara yang terkontaminasi polusi. Urbanisme menjadikan ruang di kepala kita tak muat menempatkan asmara. Kita hanya bisa memalsukannya atas nama dorongan seksual. Selebihnya, berpura-pura alim ketika musik-musik erotis diperdengarkan di rumah-rumah bordil.
Maka, pulanglah setelah melampiaskan libido. dan bawakan aku cinta yang ringan-ringan. dan mudah ditertawakan di saat waktu senggang.
Posted from my blog with SteemPress : http://marxause.kanotbu.com/index.php/2018/06/27/yang-ringan-ringan-dari-asmara/
Mantap sajaknya bang..
Ayo menulis yang gawat2, @heipz
Paragraf ke dua dan terakhir, meu-eskontelan meunan nah, top!
Hahaaaaaaa
Dosa, Kota, dan Kenangan :)
Silampuko!