Saya cukup terhibur dengan perilaku politikus Aceh masa kini dan politikus masa lalu yang masih tetap berpolitik dengan sisa kekuatan. Saya mengamatinya dari koran harian dan paling dominan melalui media sosial fesbuk. Saya sama sekali tak terusik dengan apa yang diperbuat para politikus itu. Baik perkataan, status fesbuk dan cara-cara mereka bertengkar memperebutkan hak dalam APBA. Bagi saya, mereka seperti saya juga yang menjalankan tugas profesi. Sama-sama total dan sesekali tertawa walau tak menghibur. Atau kalau sedang sial, ditertawakan orang.
Tugas profesi politikus justru lebih berat. Selain rutin mengiklankan diri, mereka juga mesti punya nafsu lebih dan tak baik mereka tutupi nafsu itu. Nafsu diakui, terlihat bekerja keras memikirkan rakyat dan berusaha tampil bersih dari persengkongkolan. Apalagi di depan ustaz yang juga berpolitik diam-diam. Bahkan, jika mau ditambah nafus-nafsu itu, maka akan berderet membutuhkan satu lapangan bola kaki.
"Herotisme"Idrus bin harun. @2018. Pulpen pada blacu
Gambar berjudul HEROTISME saya buat sekitar bulan Juli lalu menggunakan pulpen. Itu adalah gambar pertama saya menggunakan pulpen di atas blacu. Kain yang lumayan tebal dan biasanya digunakan untuk bahan tote bag dan kerap dibagikan di seminar dan workshop yang dananya besar. Ukuran gambarnya sebesar 50X150 centimeter.
HEROTISME saya pilih sebagai judul setelah gambar selesai 80%. Artinya, saya tak mengonsepkan dari awal kemana gambar ini akan saya imajinasikan. Saya menuruti imajinasi saya sesuai dengan apa yang yang saya hayati dari kenyataan politik yang berlansung di Aceh setahun lalu. Misalnya bagaimana Irwandi Yusuf sebelum ditangkap KPK seakan-akan menjadi pahlawan baru yang nyaris tanpa cela. Lalu bagaimana pertikaian tak ada kata sudah antara Irwandi dan DPRA soal APBA yang diqanunkan. Dari dua fakta itu, saya mengilustrasikannya menjadi simbol-simbol yang lahir dari bawah sadar saya dan tentunya saya membutuhkan waktu untuk merekonstruksikan dalam bentuk yang ilustratif. Bentuk yang tak nyata sekaligus surealis.
Melalui gambar ini, saya lulus seleksi untuk program residensi seminggu di Yogyakarta yang diadakan oleh taman budaya yogya melalui program Nandur Srawung #5. Di program ini, gambar ini tak ikut serta dipamerkan. Gambar ini hanya sebagai contoh karya visual yang saya buat konsep dan saya uraikan maksud-maksud tanda yang tertera dalam gambar.
Saya tak menyebutnya ini lukisan. Karena saya tak peduli apakah saya melukis atau menggambar. Saya lebih senang bicara konsepnya dibandingkan harus muluk-muluk di kategori dan teknik serta genre.
Bulan lalu, saya kirimkan untuk ikut seleksi pameran yang diadakan oleh galeri nasional dengan tema pameran serambi seni. Karya ini lulus dan ikut dipajang bersama 36 karya lain. Di antaranya ada 6 karya koleksi negara yang dibawa dari Jakarta. Saya tahu, gambar ilustrasi yang dipajang bersama lukisan aneka warna, menjadi amat suram ungkapannya. Apalagi, tanpa saya bingkai. Tapi bagi saya, yang paling penting, orang bisa menikmatinya dan timbul diskusi kecil di depan karya dipajang. Itu sudah cukup berhasil.
Terakhir, karya ini saya jual kepada siapa saja yang berminat. Minat di sini maksudnya benar-benar ingin memiliki dari hati yang dalam. Soal harga, mana pernah mahal karya seni?
Dan penentuan harga dan tawar menawar akan berlansung terbuka di komentar.
Salam
Posted from my blog with SteemPress : http://marxause.kanotbu.com/index.php/2018/10/04/herotisme/