"ini kuburan kakekmu, wahai Esmeralda" berkata Ibu sembari mencabuti beberapa batang rumput liar yang tumbuh diatas sebuah pusara.
Kuburan kakek berada dipemakaman umum kampung ini. Bentuknya biasa saja. Hanya ditandai dengan sebuah batu nisan biasa. Batu kali berwarna abu-abu berbentuk memanjang untuk menandakan disudut itulah letak kepalanya. Selebihnya hanya bertaburan batuan-batuan kecil yang sudah dipenuhi dedaunan kering dan rerumputan liar.
Aku diam saja.
Seperti ada banyak sekali hal yang ingin ibu sampaikan padaku. Ia menghela nafas.
"Dulu ibu sangat membenci kakek" tangannya mengusap batu nisan.
Ia melanjutkan: "Kakekmu memiliki tiga istri. Nenekmu adalah istri pertamanya. Ia ibuku. Cerita Ibuku tentang Ayahku yang seolah menyakitinya menjadikan rasa benciku semakin kuat. Ibuku sering bercerita betapa tidak adilnya kakek terhadap istri-istrinya. Ibuku merasa dicurangi. Walaupun demikian ia bertahan setia menjadi salah satu istrinya sampai kakekmu tiada" lagi, ibu menghela nafas. Mentari diwaktu Dhuha mulai terasa menyengat kulit.
Tangan ibu terus saja membersihkan dedaunan dan rumput liar, sesekali ia membetulkan letak batuan-batuan kecil diatas kuburan yang seolah tidak lagi pada tempatnya. Aku meniru saja apa yang ia lakukan.
"Tahukah kau Esmeralda? Sesungguhnya hati wanita itu lembut, namun ia sangat kuat. Kuat menahan berbagai rasa sakit. Setelah Ayahmu meninggal, ibu seorang janda. Saat itu kau masih kecil. Dikampung kita ini, predikat janda itu seakan hina, Nak. Tidak berbuat salah saja dianggap salah, apalagi jika memang benar tersalah. Ayahmu yang sekarang lah yang menyelamatkan kehormatan ibu. Ia menikahi ibu sebagai istri keduanya. Istri pertamanya yang kau panggil nyakwa itu orang baik. Baik sekali. Walau terkadang sering juga berbeda pendapat dan salah paham dgnku. Namanya juga wanita.." suara ibu terdengar berat.
Aku masih terdiam.
Aku tau, saat ini ibu hanya butuh didengarkan.
Ibu berkata lagi ;
"seminggu lagi kau akan menikah, anakku. Kau akan menjalani kehidupanmu sendiri. Kau akan memiliki suami. Tapi ingatlah, nak. Sesungguhnya ia bukanlah milikmu. Kau harus ingat, hakikat hidup hanyalah dititipi. Jangan kau benci mereka yang memiliki istri banyak. Jangan kau berikan predikat tidak setia pada mereka. Bisa jadi suatu saat kehidupan membawamu menjadi istri kedua atau ketiga dari seorang pria."
Pandangan ibu tertuju pada batu nisan kakek. Lama.
"iya bu.. Aku paham"
"baiklah, mari kita pulang. Kita mampir sebentar ke KUA mengantar sebagian berkas pernikahanmu yang belum lengkap"
Aku mengikuti langkah ibu dari belakang.Jelas kulihat tangannya menyeka airmata. Akupun berkaca. Namun pura-pura tidak tahu saja. Aku tak ingin tangisnya pecah.
-ditulis disabang, ditengah terik siang