Penyelenggara Pemilu Tersandera |

in #opinion6 years ago





Oleh Ayi Jufridar

TERSENDATNYA tahapan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) di Aceh saat ini mengingatkan kita pada kondisi serupa pada Pilkada 2006 silam. Saat itu, komponen masyarakat Aceh menghabiskan tenaga, waktu, dan pikiran, untuk pelaksanaan Pilkada yang waktu itu belum masuk dalam ranah pemilihan umum. Kita tak belajar dari sejarah dan akhirnya harus melewati perdebatan panjang yang bukan saja melelahkan, tetapi juga menunjukkan kepada pihak luar bahwa orang Aceh sulit diajak solid.

Beberapa pekan belakangan ini bahkan mungkin beberapa bulan ke depan, perdebatan mengenai calon perseorangan menjadi polemik di media juga di kalangan masyarakat. Tulisan ini tidak hendak membahas soal mendukung atau tidak mendukung calon perseorangan. Seorang komisioner dituntut untuk bersikap netral, independen (sesuai namanya), dan hanya melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal itu sudah menjadi bagian dari Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan harus menjadi ideologi penyelenggara di semua tingkatan.

Sesuai kesepakatan KIP Aceh bersama KIP kabupaten/kota, pemungutan suara mulanya direncanakan pada 10 Oktober mendatang. Jadwal tersebut sudah tersoasialisasikan ke publik melalui pemberitaan di media ditambah perdebatan sejumlah kalangan yang mendukung dan tidak mendukung calon perseorangan. Padahal, sejak awal KIP Aceh sudah mengingatkan bahwa jadwal tersebut bersigat tentatif, masih berpeluang terkoreksi meski sudah disepakati bersama.

KIP Aceh kemudian meminta KIP kabupaten/kota membentuk badan penyelenggara mulai dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), sampai Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP). Beberapa KIP kabupaten/kota sempat menindaklanjuti surat tersebut, sebagian lainnya mengabaikan karena untuk memulai tahapan seharusnya KIP Aceh mengeluarkan surat keputusan tentang tahapan dan jadwal, di luar petunjuk teknis agar tata cara pembentukan badan penyelenggara berlangsung seragam di semua kabupaten/kota. Sampai sekarang, belum ada satu KIP kabupaten/kota pun yang membentuk badan penyelenggara meski surat perintah pembentukan belum dicabut KIP Aceh.




Kontradiksi hukum

Kendala Pemilukada 2011 secara umum sama dengan Pilkada 2006 yakni adanya kontradiksi peraturan perundang-undangan. Pada 2006 silam, Undang-Undang Nomor 18/2001 Tentang Nanggroe Aceh Darussalam kontradiktif dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku nasional meski tetap memperhatikan unsur lex specialist. Sempat terjadi perdebatan dan penundaan Pilkada karena aturan yang ada saling bertabrakan, termasuk soal penyelenggara oleh KPUD atau KIP yang jumlah anggotanya di provinsi berbeda dengan daerah lain. Akhirnya, kebekuan itu mencair setelah KPU mengeluarkan surat perintah kepada KPUD Provinsi Aceh untuk segera memulai tahapan Pilkada. Akankah langkah sama juga menjadi solusi pada Pemilukada 2011?

Dalam pertemuan KIP dengan KPU di Jakarta yang juga diikuti KPUD Papua, seorang anggota KPU menegaskan bahwa bila ada benturan dalam peraturan, maka yang menjadi pegangan adalah peraturan yang paling tinggi strata hukumnya. Kalau peraturan baru belum disahkan seperti halnya qanun Pemilukada, maka KIP bisa memakai qanun lama.

Itulah salah satu soluasi yang ditawarkan banyak pihak di Aceh kepada KIP agar menggunakan Qanun Nomor 7 /2006 Tentang Pilkada karena qanun Pemilukada belum disahkan. Sepintas, solusi ini terlihat logis mengingat undang-undang juga menyebutkan Pemilukada dilakukan lima tahun sekali. Namun, harus diingat bahwa Qanun No.7/2006 adalah rezimnya Pilkada, bukan Pemilukada. Selain itu, ada beberapa pasal lain yang bertentangan seperti masalah sekretariat bersama dengan Panwaslu, termasuk menyangkut jumlah anggota Panwaslu. KIP berada di posisi sulit bila di-fait accompli untuk melaksanakan sesuai qanun lama karena bersentuhan dengan lembaga lain seperti Panwaslu. Belum lagi hasil Pemilukada dengan aturan lama berpotensi digugat secara hukum.




Intervensi politik

Di lain pihak, DPR Aceh sudah meminta KIP untuk menunggu “aba-aba” dari mereka sebelum memulai tahapan Pemilukada. Aba-aba yang dimaksud bisa jadi surat pemberitahuan kepada KIP lima bulan sebelum berakhirnya masa jabatan kepala daerah. Beberapa daerah di luar Aceh seperti Bengkulu, sebelumnya sempat juga memulai tahapan tanpa menunggu surat pemberitahuan dari DPRD tersebut. Sempat muncul wacana pengulangan seluruh tahapan Pemilukada, tetapi akhirnya tahapan berlangsung sampai pelantikan calon terpilih. Di Lampung, tahapan juga dimulai tanpa menunggu surat pemberitahuan dewan dan tidak menjadi masalah karena undang-undang juga memberi kewenangan bagi penyelenggara untuk menyusun tahapan dan jadwal.

Hal itu memperkecil kemungkinan dewan membawa kasus tersebut ke ranah politik semisal ingin masa jabatan kepala daerah berakhir untuk kemudian digantikan penjabat. Pergantian penjabat biasanya diikuti mutasi jabatan strategis sehingga kepala daerah lama tidak bisa menggunakan struktur pemerintahan untuk meraih suara. Itu sudah masuk wilayah politik dan bukan domain-nya KIP. Pertarungan di ranah politik inilah yang kemudian membuat KIP tersandera dalam memulai tahap pelaksanaan, kendati sejauh ini tak ada hambatan dalam tahap persiapan kecuali anggaran yang minim.

Karena hambatan menyangkut persoalan hukum dan kewenangan regulasi tidak sepenuhnya berada di KIP, maka kendala ini tidak bisa diselesaikan KIP sendiri. Selaku pelaksana undang-undang, KIP tidak bisa diharapkan berhadapan head to head dengan pihak yang mendukung atau tidak mendukung calon perseorangan. Semua pihak harus membiarkan KIP bekerja sesuai peraturan perundangan-undangan yang ada untuk Pemilukada Aceh yang aman, damai, jujur, tertib, demokratis, dan dapat dipercaya.[]

Penulis adalah anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Utara periode 2004 - 2018. Artikel di atas sudah dimuat di Serambi Indonesia.






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Tulisan seperti ini memang layak di muat di Serambi, ini bacaan para penikmat politik, top abisss👍👍👍

Saya mengirim opini ini ketika masih menjadi anggota KIP Kabupaten Aceh Utara @midiagam. Waktu itu, penyelenggara memang terjepit di antara dua kepentingan politik. Di situlah tantangannya menjadi penyelenggara di Aceh yang diseleksi oleh oleh anggota dewan.